SBB-30

<< kembali | lanjut >>

PEMIMPIN kelompok itu telah didudukkan di atas sebuah amben bambu. Kemudian ia memerintahkan tiga orang pengawal untuk mengamatinya dengan pedang terhunus.

“Hati-hatilah dengan kakinya,” berkata Jati Wulung ditelinga salah seorang di antara para pengawal, “Kakinya tidak terikat. Beritahu kawan-kawanmu. Karena itu, jangan terlalu dekat.”

Pengawal itu mengangguk-angguk. Namun Jati Wulung masih berbisik, “Jika orang itu berusaha melarikan diri, teriakkan namaku. Aku akan segera datang. Kalian tidak akan mampu mencegahnya meskipun tangannya terikat. Apalagi jika kekuatan telah pulih kembali dan kemudian berhasil memutuskan tali itu.”

Pengawal itu menjadi tegang. Tetapi Jati Wulung berkata, “Gandar ada di halaman ini juga bukan?”

Pengawal itu tidak menjawab. Namun sejenak kemudian Jati Wulung pun telah pergi menemui Gandar.

“Aku berhasil menangkap pemimpinnya dalam keadaan hidup,” berkata Jati Wulung.

“Bagus,” berkata Gandar. “Mudah-mudahan kita akan dapat mendengar dari mulut mereka, dimana Ki Rangga sekarang bersembunyi bersama Warsi. Jika mereka berada terlalu jauh dari Tanah Perdikan itu, maka kita dapat berhubungan dengan Pajang untuk bersama-sama menghancurkannya. Karena jika mereka masih mempunyai kekuatan betapapun kecilnya mereka masih akan berbuat aneh-aneh di Tanah Perdikan ini. Terutama sasarannya diarahkan kepada Risang.”

Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun ia pun berdesis, “Atau barangkali juga Damar dan Saruju.”

“Itu bukan pokok persoalan mereka,” jawab Gandar. “Hal itu dilakukan sekadar untuk memaksa Damar dan Saruju mempercepat usaha mereka membunuh Risang.”

Jati Wulung termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya, “Sekarang, bagaimana dengan pemimpin kelompok yang tertangkap itu?” Gandar termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Orang itu harus mendapat perlakuan khusus. Setiap saat ia dapat dijangkiti keinginan untuk mati.”

“Ya,” berkata Jati Wulung. “Apakah kita bawa saja orang itu ke rumah Nyi Wiradana. Bukankan disana kemungkinan pengamatannya akan lebih baik.”

Gandar mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Tetapi pemeriksaan terhadap dirinya harus dilakukan segera. Secepat dapat kita lakukan.”

Jati Wulung dan Gandar pun kemudian sepakat untuk membawa mereka yang tertangkap ke rumah Kepala Tanah Perdikan itu untuk segera diperiksa sampai tuntas, meskipun mereka tahu, terhadap pemimpin kelompok itu agaknya mereka akan mengalami kesulitan.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Gandar dan Jati Wulung telah bersiap untuk membawa pemimpin kelompok itu. Bahkan Gandar telah minta agar Damar ikut pula bersamanya.

“Rumahmu akan dijaga oleh para pengawal,” berkata Gandar. “Mereka akan memberikan isyarat jika terjadi lagi sesuatu.”

Bagaimanapun juga Damar merasa ragu-ragu. Namun kemudian telah memberitahukan kepada orangtuanya bahkan ia akan mengikut Gandar dan Jati Wulung ke rumah Nyi Wiradana.

“Apakah tidak akan mungkin datang orang lain lagi ke rumah ini Damar?” bertanya ibunya.

“Para pengawal akan tetap berada disini,” jawab Damar.

“Tetapi jangan terlalu lama ya kang,” minta adiknya.

Damar menepuk pundak adiknya itu sambil menjawab, “Aku akan segera pulang.”

“Tetapi jangan sendiri,” pesan ayahnya.

Damar mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa berjalan sendiri dalam keadaan seperti itu memang sangat berbahaya. Tidak seorang pun tahu, apakah memang hanya orang-orang yang ada di halaman itu sajalah yang telah dikirim oleh Ki Rangga dan Warsi hari itu.

Namun membawa pemimpin kelompok orang-orang yang mendapat tugas di Tanah Perdikan Sembojan itu memang sulit. Orang itu memang merasa lebih beruntung jika ia mati saja dalam pertempuran itu. Tetapi ternyata bahwa ia telah tertangkap hidup-hidup.

Tetapi diapit oleh Gandar dan Jati Wulung orang itu memang tidak dapat berbuat apa-apa. Sementara itu Damar dan beberapa orang pengawal yang lain telah membawa tawanan yang lain pula, sementara para pengawal yang tinggal dan orang-orang lain yang dapat pula ke rumah Damar serta para tetangga telah merawat mereka yang luka-luka dan yang telah terbunuh di pertempuran itu.

Ternyata malam itu merupakan malam yang menggemparkan seisi Tanah Perdikan. Semua padukuhan di Tanah Perdikan telah bersiaga. Namun ternyata pertempuran yang terjadi hanya terbatas di halaman rumah Damar, di salah satu dari padukuhan-padukuhan yang tersebar di Tanah Perdikan Sembojan.

Ternyata orang-orang Tanah Perdikan Sembojan itu bertindak cepat. Mereka hanya sempat beristirahat sejenak, ketika kemudian di hari berikutnya Iswari sendiri akan berbicara dengan pemimpin kelompok yang akan membunuh keluarga Damar, karena Damar tidak melakukan tugas yang dibebankan kepadanya pada batas waktu yang ditentukan.

Tetapi Iswari tidak membiarkan orang-orang yang tidak berkepentingan ikut mendengarkan. Yang ada disebuah bilik khusus itu hanyalah Iswari sendiri, Damar dan Saruju yang juga dipanggilnya, Gandar, Jati Wulung, Sambi Wulung dan ketiga orang kakek Iswari, Kiai Badra, Kiai dan Nyi Soka. Sementara itu Bibi mendapat tugas khusus menunggui Risang bermain pada hari itu.

Namun untuk menjaga segala kemungkinan, maka rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan hari itu telah dijaga dengan lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dipintu-pintu butulan pada dinding halaman terdapat dua orang pengawal yang siap, sementara itu di gardu telah siap pula beberapa orang pengawal.

Pemimpin kelompok yang duduk ditengah ruangan, di atas sehelai tikar pandan yang putih itu menjadi berdebar-debar juga. Betapa tebal keberanian dan tekad untuk menunjukkan kesetiaannya kepada Ki Rangga dan Warsi yang masih berjuang tanpa mengenal putus asa bagi pulihnya kejayaan Jipang.

Namun ketika orang itu mulai mendengar cara Iswari berbicara dan melihat sikapnya yang lembut, maka ia mulai melihat perbedaan yang sangat besar antara kedua istri Ki Wiradana. Yang seorang nampak lembut, sepenuhnya sebagai seorang perempuan dan bahkan keibuan, pandangannya yang luruh bagaikan sejuknya titik-titik embun di dedaunan. Sementara Warsi nampak garang, keras dan bahkan kasar. Bahkan terhadap anaknya sendiri yang masih sangat muda.

Tetapi kedua-duanya adalah orang yang cantik dengan pembawaannya masing-masing.

Sementara itu kehadiran Damar dan Saruju di ruang itu juga membuat orang itu berdebar-debar. Keduanya akan dapat menyangkal hal-hal yang tidak benar jika ia berbohong. Namun satu hal yang menguntungkan bagi orang itu, Damar dan Saruju tidak berada di sarang yang sama dengan orang yang telah tertangkap itu, sehingga Damar dan Saruju tidak akan dapat terlalu banyak mengetahui tentang diri mereka, atau jika ia memang berniat untuk berbohong.

Meskipun demikian tentu ada beberapa hal yang diketahuinya sehingga memungkinkan kedua orang itu mempersoalkan jawaban-jawaban yang diberikan.

Dalam pada itu, maka terdengar Iswari yang bertanya, “Ki Sanak. Siapakah namamu?”

Pemimpin kelompok itu benar-benar heran melihat sikap Iswari. Tetapi ketika kemudian ia berpaling ke arah beberapa orang lain disekitarnya, maka jantungnya berdegup semakin keras.

“Siapa Ki Sanak?” desak Iswari.

“Namaku Rumpak,” jawab orang itu.

Iswari mengangguk-angguk. Kemudian ia pun bertanya pula, “Apakah kau sudah mengenal kedua anak muda ini? Maksudku sebelum kau datang ke rumahnya?”

“Kenal,” jawab orang itu. “Mereka adalah Damar dan Saruju. Mereka adalah kawan-kawanku yang baik. Mereka datang ke Tanah Perdikan ini dengan tugasnya yang rumit. Membunuh anak Nyi Wiradana.”

“Tidak,” desis Saruju. “Kami belum mengenalnya. Tetapi rasa-rasanya kami memang pernah melihat pada saat kami berada di sebelah Timur Pajang.”

“Tetapi kau tidak dapat ingkar akan tugasmu. Kau menyusup di antara anak-anak muda Tanah Perdikan ini dengan tugas membunuh,” geram Rumpak.

Tetapi Iswari tersenyum. Katanya, “Kau telah melakukan satu kesalahan yang besar Ki Sanak. Seharusnya kau tidak menyebut tugas Damar dan Saruju. Dengan demikian ia masih mungkin melakukan tugas yang dibebankan kepadanya itu. Tetapi karena kau mengatakannya, meskipun sekadar terdorong oleh perasaan Ki Sanak yang melonjak-lonjak, maka kemungkinan Damar dan Saruju sudah tertutup sama sekali.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Sejenak dipandanginya Damar dan Saruju. Sementara Iswari berkata pula, “Nah, bukankah keterangan kalian dapat menggerakkan kami untuk menangkap Damar dan Saruju? Memang hal itulah yang kau kehendaki sebagai pernyataan sakit hatimu kepada mereka. Tetapi dalam bilik tangkapan keduanya tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

Rumpak menjadi bingung. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Keduanya sudah berkhianat. Keduanya tidak berani lagi melakukan tugas mereka.”

Iswari bahkan tertawa. Sementara itu Damar dan Saruju sendiri menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka melihat kekacauan pikiran Rumpak.

“Baiklah Ki Sanak,” berkata Iswari. “Tetapi baiklah kami beritahukan kepadamu, bahwa kami, di Tanah Perdikan ini sudah mengetahui siapa dan apakah tugas Damar dan Saruju disini. Yang sekarang penting bagi kami adalah keterangan, dimana Ki Rangga Gupita dan Warsi itu bersembunyi?”

“Kenapa kau tidak bertanya kepada Damar dan Saruju?” desis Rumpak.

“Sudah. Tentu sudah. Tetapi jawaban mereka kurang memuaskan. Menurut mereka, Ki Rangga dan Warsi mempunyai sarang di beberapa tempat.”

“Yang aku ketahui tidak lebih banyak dari yang diketahui oleh Damar dan Saruju,” jawab Rumpak.

“Mungkin, tetapi dengan keterangan Damar dan Saruju, kemudian keteranganmu, maka pengetahuan kita tentang Ki Rangga itu tentu lebih banyak,” berkata Iswari.

Rumpak mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam.

Tetapi kulitnya meremang ketika Gandar bergeser mendekatinya sambil bertanya dengan nada yang masih lunak, “Ki Sanak. Tolong sebutkan, dimana Ki Rangga itu bersembunyi. Tentu saja sejauh yang kau ketahui. Kau tidak usah mengarang nama sebuah tempat yang dapat kau bayangkan tersembunyi, dengan sebuah goa yang besar dan dalam. Tempat beberapa orang di antara kalian tidur dan menyimpan barang-barang yang berhasil kalian rampas dari orang-orang dipadukuhan dengan dalih untuk menegakkan keadilan karena kalian ingin menjunjung nama Jipang itu kembali.”

Keringat mulai mengalir di punggung Rumpak. Namun ia pun berkata, “Apa ada gunanya aku mengatakan sesuatu? Meskipun mungkin yang aku katakan itu benar, kau sudah dibayangi oleh dugaan bahwa aku akan berbohong.”

“O,” Gandar bergeser semakin dekat. “Bukankah kita mempunyai banyak waktu? Kami akan mendengarkan ceritamu, betapa mengasikkannya. Lalu kami akan datang untuk membuktikan, apakah ceritamu benar. Kami sudah mempunyai keterangan tentang salah satu sarang Ki Rangga dari Damar dan Saruju. Jika kami mendengar dari kalian, maka sekaligus kami dapat melihat tempat itu. Setidak-tidaknya dua sarang Ki Rangga sudah kita hancurkan. Tentu saja agar tidak menimbulkan salah paham dengan Pajang, yang kami lakukan tentu atas persetujuan Pajang. Panji-panji serta tunggul yang pernah kami terima, memang menyatakan wewenang kami untuk bertindak atas nama Pajang, namun bagi tegaknya Tanah Perdikan ini.”

Orang yang mengaku bernama Rumpak itu mengumpat di dalam hati. Ia mulai merasa nada suara Gandar agak keras. Bahkan tiba-tiba saja Sambi Wulung berkata, “Ki Sanak. Jangan kau sangka bahwa aku belum pernah menjelajahi cara hidup yang paling pahit disaat-saat gawat. Aku juga pernah menjadi salah seorang yang mewakili satu sikap. Karena itu, kami pun mengerti, bahwa kau tidak akan semudah yang kami duga untuk berbicara. Tetapi pengalaman yang pernah terjadi atas diri kami, aku terutama, akan dapat aku terapkan disini. Aku harap kau cukup jantan untuk bertahan dan tidak berkhianat kepada pemimpinmu itu, sehingga kami harus berusaha untuk membuka mulutmu. Semakin sulit kami berusaha, maka hasilnya akan semakin memberikan kepuasan kepada kami.”

Wajah orang yang bernama Rumpak itu menjadi merah. Dipandanginya Sambi Wulung dengan sorot mata yang menyala. Namun ketika ia kemudian berpaling ke arah Jati Wulung, maka kepalanya kemudian menunduk dalam-dalam.

Adalah diluar dugaan bahwa Iswarilah yang kemudian berkata dengan nada yang masih lembut, “Ki Sanak. Mungkin kau masih terlalu letih. Apakah kau akan beristirahat saja lebih dahulu? Jika kau menghendaki demikian, maka kami tidak berkeberatan. Kami akan memberimu waktu beristirahat sampai senja. Sehari kau dapat tidur dan barangkali mengingat-ingat yang mungkin terlupa. Bahkan mungkin kau sempat menelusuri jalan hidupmu selama ini serta sikap yang manakah yang paling baik kau lakukan. Ada beberapa perbedaan di antara kau dengan Damar dan Saruju. Damar dan Saruju adalah memang anak Tanah Perdikan ini. Jika ia mengambil langkah untuk kembali kepada keluarganya, kekampung halamannya, itu bukan berarti satu pengkhianatan. Tetapi jika kau yang melakukannya disini, maka mungkin kau benar-benar seorang pengkhianat.”

Jantung orang itu bagaikan berdentang semakin keras. Ingin rasa-rasanya ia berteriak untuk melepaskan gejolak perasaan yang bagaikan menyumbat dadanya.

Namun ia tidak melakukannya.

Tetapi ternyata Iswari benar-benar memberinya waktu untuk beristirahat. Iswari sendiri kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berkata, “Sampai disini dahulu Ki Sanak. Senja nanti kita akan berbicara lagi. Jika aku berhalangan maka biarlah Gandar, paman Sambi Wulung dan Jati Wulung sajalah yang melakukannya. Mungkin akan lebih baik bagimu, karena kau tidak berhadapan dengan seorang perempuan. Mungkin kau terpaksa mempertahankan harga dirimu, karena kau adalah seorang laki-laki yang tegar. Tetapi jika kau berhadapan dengan sesama laki-laki, maka kau tidak akan tersinggung jika kau harus sedikit merendahkan dirimu.”

Wajah orang itu menjadi pucat. Ia sadar apa yang akan terjadi, jika tiga orang laki-laki yang keras itulah yang harus bertanya dan memeras keterangannya. Apalagi waktu yang diberikannya adalah setelah senja.

Tetapi Rumpak tidak dapat mengatakan sesuatu. Iswari pun kemudian meninggalkan bilik itu, sementara Gandar telah membawa orang itu kembali ke bilik tahanannya. Dimuka pintu ia sempat berkata, “Pikirkan baik-baik akan sikap Nyi Wiradana. Tetapi ingat, bahwa Nyi Wiradana adalah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan ini disamping seorang perempuan yang barangkali lembut keibuan. Ialah yang memerintahkan dan melakukan sendiri, menghancurkan kalian dan mengusir sisanya pada saat kalian berusaha mengguncang Tanah Perdikan ini dibawah pimpinan Ki Rangga dan Nyi Wiradana yang lain.”

Rumpak memandang Gandar dengan tatapan mata yang menyala. Kemarahan telah membakar jantungnya. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak dapat banyak berbuat. Apalagi ia berada dilingkungan para pengawal Tanah Perdikan Sembojan.

Karena itu, maka ia harus membiarkan saja Gandar kemudian menutup pintu bilik dan menyelarakkan dari luar.

Di dalam biliknya Rumpak memang mempunyai banyak kesempatan beristirahat sampai senja sebagaimana dikatakan oleh Nyi Wiradana. Tetapi Rumpak sendiri menyadari, apa yang harus dilakukannya didalam bilik itu. Ia mengerti, bahwa ia sama sekali tidak diharapkan untuk beristirahat. Tetapi ia harus merenungi sikap para pemimpin Tanah Perdikan itu.

Bagi Rumpak, Iswari sendiri memang merupakan seorang perempuan yang memiliki watak yang jauh berbeda dengan Warsi. Namun ia pun kemudian menyadari, bahwa di medan pertempuran, Iswari tentu bersikap lain. Menghadapi ujung-ujung senjata, maka tentu Iswari tidak akan bersikap selembut saat-saat ia berada di antara keluarganya, bahkan jika ia sedang menghadapi anaknya.

Tetapi menurut tanggapannya, Iswari pun tidak akan berbuat diluar batas-batas perikemanusiaan sebagaimana pernah dilakukan oleh Warsi. Seandainya Iswari sendiri yang akan memeriksanya, maka keadaannya tentu tidak akan menjadi sangat buruk.

Namun Rumpak tidak tahu, apakah para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan semuanya mempunyai landasan sikap seperti Iswari, terutama Gandar, Jati Wulung dan Sambi Wulung yang dikenalinya meskipun hanya dalam saat yang pendek. Jati Wulung dan Sambi Wulung yang sudah memasuki masa-masa pengendapan itu pun nampaknya masih sangat garang. Apalagi Gandar. Berbeda dengan sikap orang-orang yang lebih tua lagi di antara pemimpin itu.

Selagi Rumpak itu merenung ia terkejut. Tiba-tiba saja selarak pintunya dibuka. Seorang perempuan yang agak gemuk telah memasuki biliknya. Ketika perempuan itu tertawa, maka terasa jantungnya bergejolak semakin cepat.

“Silakan beristirahat sebaik-baiknya Ki Sanak,” berkata perempuan itu. Lalu, “Orang-orang serumah itu memanggilku Bibi. Semula hanya Risang sajalah yang memanggilku Bibi. Tetapi sekarag panggilan itu seakan-akan sudah berubah menjadi nama bagiku. Sedang sebelumnya, aku dipanggil Serigala Betina dari Tanah Perdikan Sembojan, meskipun aku bukan orang asli dari Tanah Perdikan ini.”

Terasa keringat dingin mulai mengalir ditubuh Rumpak. Perempuan ini mempunyai sikap dan tentu saja watak yang tidak sewajarnya sebagaimana seorang perempuan. Ketika perempuan itu kemudian duduk dipembaringannya dekat di sebelahnya, maka diluar sadarnya ia bergeser menjauh.

“Ki Sanak,” Bibi itu tertawa. “Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin menceritakan serba sedikit tentang Tanah Perdikan ini, terutama tentang Ki Wiradana. He, bukankah kau kenal dengan Ki Wiradana yang telah dibunuh oleh Warsi itu? Atau tepatnya bersama-sama dengan Ki Rangga Gupita yang kemudian mengambil Warsi itu untuk menjadi sisihannya?”

Ketika Bibi tertawa, kulit ditengkuk Rumpak terasa meremang. Sementara itu Bibi pun berkata, “Akulah yang mendapat tugas dari Ki Wiradana untuk membunuh Iswari, justru pada saat Iswari sedang mengandung. Pada saat itu Warsi merupakan orang baru disini. Ia berhasil merampas hati Ki Wiradana, bahkan sampai ke dasar kesadarannya, sehingga Ki Wiradana sampai hati untuk menyingkirkan istrinya yang mengandung. Karena aku dikenal sebagai perempuan serigala betina maka Ki Wiradana itu mempercayakan tugas itu kepadaku. Tetapi ternyata aku tidak sampai hati melakukannya. Aku tidak membunuhnya,” Bibi itu berhenti sejenak, lalu, “He, kau tertidur mendengar ceritaku, seperti anak-anak yang mendengarkan dongeng neneknya. Aku bukan nenekmu he.”

Rumpak terkejut. Tetapi ia justru bergeser menjauh.

Namun tiba-tiba Bibi itu tertawa sambil bergeser mendekat sehingga Rumpak menjadi gemetar, katanya, “Aku tidak ingin mendengar ceritamu.”

Tetapi Bibi itu masih tertawa. Katanya, “Aku belum selesai. Aku hanya ingin memberikan kesan kepadamu tentang diriku. Mungkin aku adalah perempuan yang paling buas yang pernah kau kenal. Tetapi kau dapat memperbandingkan dengan Warsi. Siapakah sebenarnya yang lebih buas. Aku atau Warsi. Warsi menghendaki Iswari yang mengandung itu mati. Tetapi aku tidak sampai hati melakukannya meskipun aku tidak kurang dari seekor serigala pada waktu itu.”

Rumpak justru menggeram.

“Jangan menghina aku,” desis Bibi. “Kau akan dihadapkan pada sekelompok orang yang akan memeras keterangan dari mulutmu. Hati-hatilah berbicara. Aku tidak tahu, apakah aku sampai hati atau tidak untuk ikut berada didalamnya. Tetapi jika aku kehilangan kendali sikapku, maka aku adalah orang yang paling liar disini, melampaui laki-laki yang bernama Gandar itu.”

Rumpak menjadi semakin geram. Dengan nada yang bergetar ia bertanya, “Apa maksudmu sebenarnya dengan mengucapkan ceritamu itu. Untuk menakut-nakuti aku?”

“Ya. Dan aku berhasil, karena kau telah menjadi gemetar karenanya,” jawab Bibi. “Tetapi ingat. Bukan sekadar menakut-nakuti karena hal itu akan benar-benar dapat terjadi atasmu. Sadari itu. Atau barangkali aku berniat untuk menantangmu berkelahi tanpa bantuan orang lain jika kau mengelak untuk berterus terang. Kau akan mengalami satu peristiwa yang barangkali belum pernah kau alami, bahkan kau lihat sekalipun.”

Jantung Rumpak rasa-rasanya berdenyut semakin cepat. Apalagi ketika kemudian ia mendengar perempuan yang disebut Serigala Betina itu tertawa.

Namun dalam pada itu Bibi itu pun kemudian berkata, “Sudahlah. Tidak baik aku terlalu lama berada dibilikmu. Apalagi jika kau ternyata kemudian pingsan ketakutan,” Bibi itu berhenti sejenak, “Tetapi aku minta kau perhatikan kemungkinan itu. Aku akan menantangmu untuk berkelahi seorang melawan seorang.”

Bibi tidak menunggu jawaban. Ia pun kemudian meninggalkan orang yang menjadi tawanan itu dalam kekalutan perasaan.

Orang itu sadar ketika ia mendengar pintu bilik itu diselarakkan lagi dari luar. Namun ia justru menarik nafas dalam-dalam. Bahwa perempuan yang agak gemuk itu telah keluar dari biliknya, rasa-rasanya bilik itu menjadi lapang.

Namun sejenak kemudian ia mulai berpikir tentang kata-kata yang dilontarkan oleh perempuan itu. Memang tidak mustahil ia berbuat aneh-aneh seperti itu, atau setidak-tidaknya ia mendapat perintah untuk melakukan hal seperti itu. Jika ia harus berkelahi melawan perempuan itu, maka ia akan menjadi tontonan. Jika ia menang tidak seorang pun akan mengaguminya karena ia harus melawan seorang perempuan. Tetapi jika ia kalah, maka ia akan lebih direndahkan lagi.

Rumpak pun akhirnya menyadarinya, bahwa semuanya itu memang sudah diatur oleh orang-orang Sembojan untuk mendesaknya agar ia menjawab semua pertanyaan tanpa harus dipaksa, apalagi dengan kekerasan. Orang-orang Sembojan ingin tanya jawab berikutnya berjalan lancar. Namun Rumpak pun menyadari, bahwa hal itu terjadi atas pengaruh Iswari, Pemangku Jabatan Tanah Perdikan Sembojan.

Agaknya Iswari tidak ingin melakukan kekerasan jika mungkin. Tetapi apakah para pemimpin Sembojan yang lain juga bersikap demikian? Rumpak ternyata sama sekali tidak sempat beristirahat. Ia terlalu sibuk dengan pergolakan di dalam dirinya sendiri. Keragu-raguan, kecemasan dan bahkan ketakutan.

Perasaan yang belum pernah mencengkam jantungnya sebelumnya. Sebagai seorang yang ditempa oleh kerasnya latihan-latihan keprajuritan di Jipang, kemudian oleh pertempuran yang seru di beberapa medan. Terakhir ia telah hidup dalam keadaan yang kasar dan penuh dengan langkah-langkah kekerasan.

Namun ia belum pernah mengalami kecemasan dan bahkan ketakutan seperti saat itu. Saat ia ada didalam sebuah bilik yang tidak terlalu luas, cukup bersih dan tertutup rapat.

Rumpak berdiri dipersimpangan jalan. Apakah ia akan berterus terang menjawab semua pertanyaan, sehingga dengan demikian ia telah berkhianat seperti juga Damar dan Saruju, atau ia harus bertahan meskipun tubuhnya akan hancur dilumatkan oleh orang-orang yang keras dari para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan itu. Atau ia akan hanyut dalam sikap yang lembut sebagaimana ditunjukkan oleh Nyi Wiradana itu.

Rumpak akhirnya merebahkan dirinya dipembaringannya. Tetapi rasa-rasanya kepalanya menjadi beku. Ia justru tidak dapat berpikir dengan jernih.

“Gila. Aku sudah gila,” keluhnya. “Agaknya ketahanan jiwaku menghadapi keadaan yang sulit masih terlalu rapuh.”

Sementara itu, sekali lagi pintu bilik itu terbuka. Rumpak telah bangkit dan duduk dipembaringannya sambil menggeram, “Siapa lagi yang akan mengganggu aku?”

Tetapi yang masuk adalah seorang perempuan tua membawa makanan baginya. Perempuan tua yang dlihatnya duduk bersama ketika ia menghadap Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.

“Makanlah Ki Sanak,” berkata perempuan tua itu. “Tetapi barangkali yang dapat kami hidangkan tidak terlalu memenuhi selera Ki Sanak. Sekadar nasi putih, sayur waluh dan sedikit ikan yang ditangkap di sungai sebelah. Telur itu pun telur yang diambil dari petarangan di belakangan dapur, karena di rumah ini memang dipelihara beberapa ekor ayam.”

Rumpak termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ia melihat suatu kesempatan. Jika ia menerobos keluar dari pintu yang terbuka itu, maka ia akan mendapat kesempatan untuk lari.

Tetapi niat itu diurungkannya. Ia yakin bahwa disekitar rumah itu tentu terdapat para pengawal yang siap untuk memburunya dan menangkapnya. Apalagi jika perempuan yang disebut Serigala Betina itu masih ada disekitar tempat itu.

Karena itu maka Rumpak itu pun duduk saja di pembaringannya sambil memandangi makanan yang disajikan oleh perempuan tua itu.

Sementara itu, perempuan tua itu pun tersenyum kepadanya sambil berkata, “Makanlah. Jangan memikirkan persoalanmu sekarang. Kau renungi atau tidak, akhirnya akan sama saja. Semuanya tergantung kepada kesediaanmu bekerja bersama kami. Tetapi pergunakan waktumu baik-baik untuk beristirahat dan makan, agar tubuhmu menjadi kuat. Mungkin kau memerlukannya untuk meningkatkan daya tahan dan mengatasi perasaan sakit. Tetapi Ki Sanak, kami berharap bahwa kita akan dapat bekerja sama dengan baik. Beberapa orangmu yang tertangkap hidup sudah mulai menceritakan tentang diri masing-masing dan tentang Ki Rangga Gupita serta Warsi, yang keduanya kemudian hidup sebagai dua orang suami istri.”

Rumpak tidak menjawab. Dipandanginya makanan yang diletakkan oleh perempuan tua itu. Terlalu baik untuk seorang tawanan. Tetapi rasa-rasanya ia tidak lapar dan tidak ingin menyentuhnya.

Sejenak kemudian perempuan tua itu pun meninggalkan bilik itu sambil berkata, “Makanlah. Nanti aku akan mengambil mangkuknya.”

Sepeninggal perempuan itu Rumpak termangu-mangu. Ia mulai mengamati makanan yang ditinggalkan. Tetapi ia pun kemudian telah berbaring dipembaringannya tanpa menyentuh mangkuk-mangkuk yang dihidangkan itu.

Untuk sesaat ia berbaring. Tetapi kemudian ia merasa perlu untuk tetap dalam keadaan yang paling baik. Wadag dan jiwanya.

Karena itu maka ia pun telah bangkit lagi. Dipaksanya dirinya untuk makan, agar ia tidak menjadi sangat lemah dan tidak mampu mengatasi perasaan sakit jika hal itu dialami. Setelah makan dan minum, maka tubuhnya memang merasa lebih segar, meskipun tidak terasa enak dimulutnya. Badannya merasa bertambah kuat dan darahnya pun menjadi semakin hangat.

Bahkan orang itu pun menggeram, “Apapun yang akan terjadi, aku akan bertahan dan tidak akan berkhianat.”

Baru sejenak kemudian orang itu berbaring lagi. Tekadnya sudah bulat, bahwa ia akan menghadapi segala tekanan jika para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan yang akan memerasnya.

“Mereka harus tahu bobot seorang prajurit Jipang,” berkata prajurit itu di dalam dirinya.

Untuk beberapa saat ia menunggu.Tiba-tiba saja terdengar selarak pintu itu terbuka. Ketika daun pintu itu bergeser, maka perempuan tua yang telah menempatkan makanan di dalam biliknya itu berjalan tertatih-tatih masuk.

“Bagaimana Ki Sanak. Apakah Ki Sanak sudah makan?” bertanya perempuan tua itu.

Tiba-tiba saja pikiran Rumpak berubah. Ketika tubuhnya sudah terasa menjadi semakin kuat, maka ia memang bertekad untuk melarikan diri mumpung pintu terbuka. Memang ia merasa seakan-akan ingin terjun ke dalam kegelapan karena ia tidak tahu apa yang ada diluar. Tetapi ia sudah bertekad bulat untuk tidak gentar mengalami apapun juga. Jika ia berlari keluar dari bilik itu, ia mempunyai kesempatan betapapun kecilnya untuk meloncati dinding rumah Kepala Tanah Perdikan itu dan hilang tanpa dapat disusul oleh para pengawal. Tetapi kemungkinan lain, ia akan ditangkap. Beberapa orang pengawal akan mengejarnya dan mengepung lingkungan disekitar halaman rumah itu. Tetapi itu bukan soal. Ia akan bertempur sampai mati sekalipun, karena hal itu tentu lebih baik daripada ia tetap hidup tetapi diperas dengan cara yang parah oleh para pemimpin Tanah Perdikan itu.

Karena itu, maka Rumpak pun telah bangkit dari pembaringannya. Diamati pintu yang terbuka itu, sementara perempuan tua itu berdiri tanpa menghiraukannya. Ia sibuk mengemasi mangkuk-mangkuk kotor dan sisa makan. Namun sayang bahwa perempuan itu berdiri di antara sebuah amben kecil dan dinding kayu. Jika ia benar-benar ingin belari keluar, maka perempuan itu harus menyingkir atau didorongnya saja tanpa memperdulikan, apakah ia akan jatuh terbanting.

Sejenak ia termangu-mangu. Namun ia tidak mau kehilangan waktu. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, “Minggirlah.”

Perempuan itu menjadi heran. Dipandanginya Rumpak yang sudah siap untuk meloncat berlari melintasi halaman dan mencapai dinding. Ia sudah melihat dinding yang tidak begitu tinggi, sehingga dengan mudah ia akan dapat meloncati meskipun ia tidak tahu, jika ia meloncat maka ia akan terjun dimana.

Ternyata Rumpak tidak sempat menunggu. Ia sudah ancang-ancang untuk menghambur dengan kecepatan yang paling tinggi.

“Minggir,” bentaknya sekali lagi.

Tetapi perempuan itu nampaknya justru menjadi bingung.

Karena itu, maka Rumpak itu tidak menghiraukannya lagi. Ia pun telah meloncat berlari. Jika ia menyinggung perempuan itu, ia tahu bahwa perempuan tua itu tentu akan jatuh.

Namun yang terjadi benar-benar diluar dugaannya. Ketika Rumpak belari dengan mengerahkan segenap kekuatan dan tenaganya pada loncatan pertama, maka pada langkah kakinya yang berikutnya ia memang menyinggung perempuan tua itu.

Tetapi yang terjadi, perempuan itu seakan-akan tidak tergeser dari tempatnya. Bahkan tergetarpun tidak. Justru malahan Rumpak lah yang terdesak dan jatuh menghantam dinding yang kuat, kemudian berguling ditanah.

Dengan tangkas Rumpak melenting berdiri. Namun rasa-rasanya punggungnya akan patah, sehingga tidak mungkin lagi baginya untuk berlari meninggalkan halaman itu. Ia tidak akan mampu lagi belari cukup cepat untuk mencapai dinding itu dan ia pun merasa ragu bahwa dengan punggung yang bagaikan patah itu, apakah ia dapat meloncat.

Namun perhitungannya pun kemudian tertuju kepada perempuan yang nampaknya menjadi gugup dan bertanya, “Apa yang telah terjadi?”

Tetapi Rumpak menjawab, “Ternyata kau bukan perempuan kebanyakan. Kau dengan sengaja telah menghentikan aku dengan tenagamu yang besar, yang mampu membenturkan tubuhku pada dinding pada saat aku berlari. Meskipun aku mengerti, bahwa sentuhan yang tidak terlalu besar akan mampu mengguncang keseimbangan seseorang yang sedang berlari dengan tergesa-gesa, namun terasa bahwa aku memiliki kekuatan yang besar. Karena itu, perempuan tua, kau harus menanggung akibat dari perbuatanmu. Kau sudah menggagalkan niatku.”

“Apa yang akan kau lakukan Ki Sanak?” bertanya perempuan itu.

“Mematahkan tulang belakangmu seperti yang terjadi padaku. Tulang belakangku terasa seakan-akan telah patah,” jawab Rumpak.

Perempuan tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah Ki Sanak. Jika punggungmu sakit, sebaiknya kau beristirahat. Berbaring sajalah untuk menenangkan diri. Sebentar saja perasaan sakit itu akan hilang.”

“Persetan,” geram Rumpak. “Aku semakin yakin, bahwa kau termasuk seorang perempuan yang memiliki ilmu seperti perempuan yang disebut Serigala Betina itu. Karena itu, maka aku ingin memutar tubumu sehingga tulang belakangmu patah karenanya.”

“Jangan mempersulit diri Ki Sanak,” berkata perempuan itu.

Tetapi Rumpak tidak mau mendengarnya lagi. Dengan kemarahan yang memuncak ia menggeram sambil menerkam tubuh perempuan tua itu. Perempuan yang telah menggagalkannya untuk meninggalkan bilik itu.

Namun ketika tangannya menyentuh tubuh perempuan itu, Rumpak terkejut. Tangannya, terutama jari-jarinya terasa seolah-olah berpatahan. Ternyata tubuh perempuan tua itu menjadi keras seperti baja.

Akhirnya Rumpak harus mengakui kenyataan. Perempuan itu benar-benar seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi.

Karena itu, maka ia pun telah melepaskan cengkeramannya dan membanting diri duduk dipembaringannya. Katanya, “Nyai. Aku menjadi semakin yakin akan kekecilan diriku di Tanah Perdikan ini. Inilah sebabnya maka Saruju dan Damar tidak berani melakukan tugasnya.”

“Tenanglah,” berkata perempuan tua itu. “Renungilah keadaanmu sebaik-baiknya. Pada satu saat, kau akan dipanggil lagi menghadap seperti tadi. Aku juga hadir ketika kau dipanggil Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang kebetulan seorang perempuan. Mungkin ia dapat berlaku lembut seperti kebanyakan perempuan. Tetapi ia akan dapat menjadi garang karena kedudukannya.”

Rumpak tidak menjawab. Namun jantungnya menjadi semakin berdebar-debar. Sementara itu perempuan tua itu berkata, “Sudahlah. Kesempatanmu untuk beristirahat tidak banyak lagi. Menurut pendapatku sebaiknya kau pergunakan waktumu sebaik-baiknya.”

Rumpak masih tetap berdiam diri. Sementara perempuan itu telah selesai membenahi mangkuk-mangkuk yang kotor. Sambil menjinjing mangkuk-mangkuk itu perempuan tua itu berkata, “Ingatlah. Jika kau berkata dengan jujur, maka persoalan-persoalan yang tidak baik akan dapat dikesampingkan. Sebaliknya jika kau tidak berkata dengan jujur, mungkin kau akan mengalami perlakuan yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya.”

Perempuan tua itu tidak menunggu jawaban. Perlahan-lahan ia keluar dari dalam bilik itu. Kemudian terdengar pintu bilik itu ditutup dan diselarak dari luar.

Rumpah menarik nafas dalam-dalam. Dalam waktu yang dekat, ia semakin mengenali Tanah Perdikan itu. Di Tanah Perdikan itu terdapat orang-orang yang berilmu sangat tinggi jauh melampaui dugaannya. Jika semula orang yang paling dikagumi hanyalah Ki Rangga Gupita dan Warsi disamping Ki Randukeling yang tidak pernah muncul lagi, ternyata ia telah bertemu dengan orang-orang yang memiliki ilmu tanpa diduga sebelumnya.

Namun demikian perasaan Rumpak perlahan-lahan menjadi tenang. Ia pun kemudian mampu memaksa hatinya pasrah atas apa yang dapat terjadi atas dirinya.

Sejenak kemudian, Rumpak justru berbaring dipembaringannya. Ia mulai menerawang kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi atas dirinya. Namun pengenalannya atas kemampuan seorang perempuan tua itu sangat berkesan di dalam dirinya.

SEKILAS Rumpak teringat kembali akan perempuan yang menyebut dirinya Serigala Betina. Perempuan gemuk itu tentu seorang perempuan yang garang. Kemudian dibayangkannya bagaimana Gandar itu melakukan sesuatu jika ia menjadi jengkel karena pertanyaan-pertanyaannya tidak terjawab. Laki-laki yang telah mengalahkannya di pertempuran, dan kemudian bagai-mana dengan Iswari sendiri.

Namun bagi Rumpak semuanya itu adalah sekelompok orang-orang berilmu tinggi yang telah menangkapnya ke dalam satu keadaan tanpa kemungkinan lain, kecuali pasrah.

Dalam kesibukan angan-angan, Rumpak justru tidak menyadari bahwa waktu berjalan terlalu cepat. Ia terkejut ketika selarak pintu biliknya terangkat. Kemudian perlahan-lahan pintu itu pun terbuka.

Yang berdiri dimuka pintu kemudian adalah Gandar.

“Rumpak,” meskipun ujud Gandar cukup garang, tetapi suaranya terdengar wajar ditelinga. “Marilah. Kita akan berbicara tentang beberapa hal.”

Rumpak pun kemudian bangkit dari pembaringannya. Sejenak ia membenahi diri. Kemudian ia pun berjalan seperti tanpa perasaan menuju ke pintu.

Gandar bergeser kesamping. Kemudian Rumpaklah yang berjalan didepan menuju ke ruang dalam rumah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.

Rumpak sama sekali tidak merasa tegang lagi ketika ia duduk di antara beberapa orang. Ia tidak sempat memandang wajah mereka seorang demi seorang, sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya. Ia hanya tahu ada beberapa orang yang telah duduk melingkar. Ia juga tidak melihat perempuan tua yang telah membawa mangkuk makanan ke dalam biliknya yang ternyata ada pula di ruang itu. Tiba-tiba saja ketika Iswari memasuki ruang itu, hatinya merasa sejuk. Rumpak tidak tahu, apakah sebabnya bahwa ia lebih tenang jika Iswari ada di antara orang-orang Sembojan itu.

“Rumpak,” berkata Iswari kemudian. “Kau tentu sudah tahu, untuk apa kami memanggilmu. Pagi tadi kau nampak sangat letih, sehingga karena itu pertemuan kita telah tertunda.”

Rumpak menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia menjawab sambil mengangguk, “Ya Nyi. Aku tahu.”

“Nah, jika demikian, aku minta kau bersedia bekerja sama dengan kami, agar tidak timbul ketegangan yang tidak berarti bagi kita semuanya,” berkata Iswari.

Hampir di luar sadarnya Rumpak mengangguk sambil menjawab, “Baik Nyai.”

Iswari mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Terima kasih Ki Sanak. Jika benar demikian, maka pertemuan ini akan cepat berakhir.”

Rumpak termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memang tidak mempunyai pilihan lain.

Sejenak kemudian, maka Iswari pun bertanya, “Jika demikian Ki Sanak. Bukankah kau dapat mengatakan serba sedikit yang kau ketahui tentang Ki Rangga Gupita dan Warsi yang sampai saat ini masih selalu mengganggu ketenangan Tanah Perdikan ini?”

Rumpak memandang wajah Iswari sekilas. Tetapi ia melihat wajah itu tetap tenang dan tidak bergejolak. Tetapi Rumpak tiba-tiba saja dicengkam oleh ketakutan untuk melihat wajah-wajah orang lain disekitarnya, sehingga ia tetap tidak mengerti siapa saja yang berada di ruang itu.

“Tentu Damar dan Saruju ada juga disini,” berkata Rumpak di dalam hatinya. “Ki

Sanak,” berkata Iswari pula. “Silakan. Bukankah Ki Sanak tidak berkeberatan untuk bekerja bersama dengan kami?”

Rumpak tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu maka ia pun mulai menceritakan serba singkat tentang keadaannya dan kedudukannya. Ia berada disalah satu sarang dari beberapa sarang para pengikut Ki Rangga Gupita. Namun seperti Damar dan Saruju serta kawan-kawannya yang lain yang tertangkap hidup-hidup dan diperiksa di tempat dan waktu yang terpisah, mereka sama sekali tidak menyebut tentang sebuah padepokan yang rapi, tertib dan bersih. Yang berhubungan akrab dengan padukuhan-padukuhan disekitarnya dan dianggap sebagai tempat untuk minta petunjuk dan bahkan nasihat-nasihat untuk mengatasi beberapa macam kesulitan yang terjadi di padukuhan-padukuhan. Kesulitan tentang tanaman mereka yang tidak dapat tumbuh subur disawah dan pategalan, tentang hama yang menyerang batang-batang kelapa dan tentang banyak hal yang memberikan kesan, betapa pentingnya kehadiran padepokan itu di antara orang-orang padukuhan.

Karena itu, yang dapat ditangkap dari pembicaraan para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan dengan orang-orang yang dikirim oleh Ki Rangga dan Warsi tidak lebih dari beberapa sarang gerombolan yang garang dan kasar. Beberapa buah goa yang telah dibangun secara khusus sehingga mampu menjadi tempat tinggal dan dihuni oleh sekelompok pengikut Ki Rangga dan Warsi.

Rumpak memang dapat menyebutkan beberapa tempat dari sarang-sarang gerombolannya yang banyak, meskipun tidak semua.

Iswari mendengarkan keterangan itu sambil mengangguk-angguk. Ia percaya tentang apa yang dikatakan oleh Rumpak, karena keterangan itu tidak bertentangan dengan keterangan kawan-kawannya yang tertangkap dan tidak pula bertentangan dengan keterangan Saruju dan Damar.

Dalam pada itu, para pemimpin Tanah Perdikan yang ada di ruang itu mengangguk-angguk. Ternyata mereka berhasil memaksa Rumpak berbicara tanpa menyakiti tubuhnya. Damar dan Saruju memang ada pula ditempat itu. Seakan-akan ia menjadi saksi kebenaran keterangan Rumpak tentang lingkungannya.

“Baiklah,” berkata Iswari kemudian. “Kau sudah mengatakan apa yang kau ketahui. Karena itu, maka kau akan dikembalikan ke dalam bilikmu. Untuk sementara persoalan yang kau kemukakan telah cukup bagi kami. Tetapi mungkin pada saat lain keteranganmu yang lainlah yang kami perlukan. Apalagi jika persoalannya telah berada di tangan para pemimpin Pajang yang tentu juga berkepentingan dengan gerombolan-gerombolan yang kalian katakan itu untuk membersihkan Pajang dari gangguan mereka.”

Rumpak tidak menjawab. Ia sadar, bahwa ia sudah berkhianat. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat lain. Apalagi setelah ia mendengar alasan dan keterangan tentang sikap Tanah Perdikan Sembojan serta Pajang, kenapa mereka harus membersihkan gerombolan-gerombolan sisa-sisa pasukan Jipang.

“Selama ini aku mendengar sikap dari satu sisi saja,” berkata Rumpak di dalam hatinya. “Dengan demikian maka aku tidak dapat melihat hubungan persoalannya dengan pertimbangan yang utuh. Itulah agaknya maka Damar dan Saruju yang sempat tinggal di Tanah Perdikan ini, kembali kepada keluarganya dan kepada kampung halamannya, justru karena ia mendapatkan bahan pertimbangan tentang sikapnya itu.”

Tetapi Rumpak tidak menyatakan sesuatu. Semuanya telah terlambat baginya. Bagi Tanah Perdikan, ia adalah seorang tawanan karena ia berusaha untuk membunuh Damar, meskipun Damar adalah bekas seorang pengikut Ki Rangga Gupita dan Warsi.

Sejenak kemudian, maka Gandar pun telah membawa Rumpak kembali ke biliknya. Sementara itu Gandar sempat berkata, “Nah, bukankah jika kau mau membantu kami, maka kau tidak akan mengalami perlakuan yang kasar, karena agaknya untuk waktu-waktu yang akan datang masih banyak keteranganmu yang kami perlukan.”

Rumpak tidak menjawab. Tetapi ia memang menjadi cemas. Jika keterangan yang diperlukan itu benar-benar tidak diketahuinya, maka ia akan dapat berada dalam keadaan yang sulit, seolah-olah ia dengan sengaja menyembunyikan sesuatu.

Dalam pada itu, setelah Rumpak dibawa kembali ke biliknya, maka para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan itu pun mulai membicarakan persoalan yang mereka hadapi. Tetapi agaknya yang mereka hadapi itu tidak saja berada di Tanah Perdikan Sembojan yang menjadi daerah jangkau kekuasaan Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan, karena sarang-sarang gerombolan itu semuanya berada diluar Tanah Perdikan.

Ternyata bahwa Iswari memerlukan satu kesempatan tersendiri untuk membicarakan persoalan gerombolan dari bekas para prajurit Jipang yang ternyata telah berbaur dengan sisa-sisa kekuatan gerombolan Kalamerta yang sempat dihimpuan kembali.

Sementara itu, perhatian Iswari terhadap Risang menjadi semakin tajam. Risang adalah sasaran utama dari gerombolan yang masih berusaha untuk mendapat kesempatan merampas Tanah Perdikan itu, karena seorang di antara anak Ki Wiradana ada di antara gerombolan itu.

Karena itulah maka pengawasan terhadap Risang menjadi semakin ketat. Namun agar Risang tidak menjadi seorang yang terlepas dari lingkungannya, maka Iswari memberikan kesempatan kepada anaknya untuk bermain-main dengan anak-anak sebayanya. Namun dalam keadaan yang demikian, pengamanan atas anak itu dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Bukan saja Bibi lebih banyak mempergunakan waktunya untuk berada di dekat Risang. Tetapi juga Gandar, Nyai Soka dan Iswari sendiri.

Untuk menjaga banyak kemungkinan, maka Iswari justru membiarkan anak-anak tetangga-tetangganya bermain di halaman rumahnya yang luas daripada melepaskan Risang keluar dari halaman dan bermain di jalan atau ditempat-tempat lain.

Meskipun demikian agar Risang tidak menjadi seorang yang berpandangan sempit kelak, maka sekali-kali Risang masih juga dibawanya keluar. Namun jika demikian, maka beberapa orang terpercaya mengikutinya pula.

Sekali-kali Risang memang diajak juga pergi ke sungai. Pergi ke sawah dan pategalan. Pergi ke bendungan dan tempat-tempat lain yang perlu dikenalinya. Tetapi dengan satu keyakinan, bahwa keselamatannya akan tetap dilindungi. Bahkan Risang lebih banyak pergi bersama ibunya sendiri bersama Gandar dan Bibi. Sementara itu para pengawal di padukuhan-padukuhan masih saja berada dalam kesiagaan tertinggi setelah terjadi usaha pembunuhan terhadap keluarga Damar.

Di pihak lain, Ki Rangga dan Warsi ternyata telah mendapat laporan tentang kegagalan Rumpak dan kawan-kawannya. Ternyata Rumpak tidak berhasil membunuh salah seorang keluarga Damar. Bahkan Rumpak dan beberapa orang kawannya tertangkap hidup-hidup, sementara yang lain tertangkap mati.

“Gila,” geram Ki Rangga. “Ternyata mereka adalah tikus-tikus yang dungu. Mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Membunuh kecoak pun tidak dapat mereka lakukan. Bahkan mereka telah dihancurkan oleh orang-orang Tanah Perdikan Sembojan.”

Warsi pun mengumpat tidak habis-habisnya. Dengan nada tinggi ia berkata, “Jika demikian, dengan cara apa lagi kita harus membunuh anak itu?”

“Kita tidak boleh putus asa. Kita akan membunuhnya. Jika kita tidak melakukannya, lalu apa artinya anakmu itu? Ia tidak akan berguna sama sekali bagi kita,” sahut Ki Rangga.

“Anak itu memang membawa nasib buruk,” geram Warsi. “Tetapi aku masih akan tetap memeliharanya sampai saatnya kita dapat membunuh Risang. Anak itu akan memasuki Tanah Perdikan dengan haknya sebagai anak Wiradana.”

Ki Rangga tidak menjawab. Bahkan kebenciannya terhadap anak Wiradana itu menjadi semakin menyala di dalam hatinya. Anak itu seakan-akan hanya merupakan beban saja dan bahkan membuatnya selalu teringat kepada ayah anak itu yang sudah terbunuh.

Tetapi untuk sementara ia masih menyabarkan dirinya. Mungkin masih ada kesempatan. Namun jika memang tidak ada lagi kemungkinan untuk membunuh Risang, maka Puguh itu pun tidak akan berarti apa-apa lagi.

Karena itulah, maka perlakuan terhadap Puguh itu tidak menjadi bertambah baik. Anak itu setiap hari dibebani dengan tuntutan-tuntutan yang sangat berat. Ibunya dan Ki Rangga menyebutnya sebagai satu usaha untuk menempa anak itu.

“Jika sejak kecil ia mengalami tekanan yang berat, maka tubuhnya akan terbiasa untuk melawan dan mengatasinya. Ia akan menjadi seorang yang kuat lahir dan batin. Jika saatnya ia menguasai ilmu, kanuragan, maka ia akan menjadi seorang yang tidak akan terlawan. Kemampuannya dan kebesaran jiwanya akan menggulung semua lawan-lawannya” berkata Warsi kepada orang yang diserahinya, orang yang pernah diakunya sebagai ayah Warsi disaaat ia memasuki Tanah Perdikan Sombajan sebagai seorang penari jalanan.

Orang yang setiap hari mangasuh Puguh itu mengangguk. Seperti keinginan dan sikap ibunya, maka ia pun bersikap keras terhadap Puguh. Ia memaksa anak itu untuk melakukan latihan-latihan yang sangat berat dibandingkan dengan umurnya yang baru mulai semi.

Tetapi Puguh tidak sempat mengeluh. Ia memang sering menangis. Namun lambat laun anak itu merasa bahwa tangisnya tidak berarti apa-apa lagi. Karena na itu, maka setiap kali anak yang masih sangat muda itu berusaha menyembunyikan tangisn:ya sehingga kadang-kadang dadanyalah yang menjadi sesak oleh isaknya.

“Kau tidak haleh menjadi manja” geram ibunya setiap kali anak itu menangis, “kau anak seorang pengecut. Kau tidak boleh menjadi seorang pengecut pula. Kau harus menjadi laki-laki yang pantas sebagai anak Warsi.”

Puguh sama sekali tidak mengerti arti kata-kata ibunya itu. Tetapi ia tidak menjawab. Namun setiap kali anak itu sibuk mengusap air matanya, agar ibunya tidak pernah melihatnya menangis.

Samentara sikap orang-orang di sekitarnya terhadap anak kecil itu masih belum beruhah, Ki Rangga dan Warsi telah dibebani tugas yang lain untuk menyelamatkan beberapa buah sarangnya yang tentu akan diketahui oleh orang-orang Tanah Perdikan Sembojan.

“Sarang itu harus dikosongkan” berkata Warsi.

“Sebenarnya kita tidak perlu mencemaskannya. Orang. orang Tanah Perdikan Sembojan tidak akan berani menjangkau sarang-sarang kita, sementara Pajang tidak akan menghiraukannya seandainya Tanah Perdikan Sembajan melaporkantaya.” jawab Ki Rangga.

“Tetapi kita harus berjaga-jaga” berkata Warsi pula, “kita sudah terlalu banyak kehilangan. Sebaiknya kita tidak menjadi lengah.”

Ki Rangga mengangguk kecil. Jawabnya, “Baiklah. Kita akan menutup dua buah sarang kita. Sarang yang semula dihuni oleh Rampak dan kawan-kawannya, sementara satu lagi yang dihuni semula oleh Damar dan Saruju.”

“Satu lagi” berkata Warsi, “yang bersama-sama dengan Rumpak tidak hanya berasal dari satu sarang.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya kemudian, “Baiklah. Kita akan memindahkan tiga buah sarang kita. Jika tergesa-gesa dan kita belum mendapatkan tempat lain yang baik, maka biarlah ketiga sarang itu kita tempelkan pada tiga buah sarang yang sudah ada.”

“Aku setuju” berkata Warsi, “itu, lebih baik daripada ketiga sarang itu dihancurkan oleh orang~orang Tanah Perdikan Sembojan yang dibantu oleh para prajurit Pajang.”

Dalam pada itu, sebenarnyalah Iswari telah berbicara dengan, para perwira Pajang. Iswari telah malaporkan apa yang diketahui tentang gerombalan bekas prajurit Jipang dan bekas orang-orang yang menjadi pengikut Kalamerta.

“Bukan satu-satunya” jawab perwira Pajang itu, ”di sebelah Barat Pajang, pasukan Jiipang yang saat itu berada disisi Barat juga menyusun kekuatan. Mereka mencari landasan di sekitar Kademangan Sangkal Putung yang subur. Pasukan itu agaknya masih lebih kuat dari pasukan Ki Rangga Gupita, Namun karena Ki Rangga memecah pasukannya menjadi bagian-bagian yang kecil, agaknya, kita memang sulit untuk menilainya.”

“Beberapa buah sarangnya dapat kita ketahui justru karena ada di-antara mereka yang tertangkap” berkata lswaril.

“Kami menyadari, seperti sepasukan yang terada di sekitar Sangkal Putung yang subur itu, maka gerombolan Ki Rangga teptu merupakan gangguan yang perlu mendapat perhatian.” jawab perwira Pajang itu.

“Apakah Pajang masih belum mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menghancurkan kekuatan sisa-sisa prajurit Jipang yang ada di Sangkal Putung dan sekitarnya?” bertanya Iswari.

“Kami sudah menempatkan pasukan Pajang di Sangkal Putung. Bersama-sama dengan rakyat Sangkal Putung dan Kademangan di sekitiarnya mereka selalu berhasil mengusir sisa-sisa pasukan Pajang itu. Namun tujuan mereka yang terakhir .bukan sekedar mengusir, tetapi menghancurkan seluruh sisa-sisa pasukan Jipang itu.” jawab perwira Pajang itu.

“Jika demikian, apakah tidak sebaiknya diambil tindakan juga atas sarang-sarang kekuatan pasukan Ki Rangga itu? Mudah-mudahan dengan demikian gangguan atas tegaknya Pajang akan dapat dikurangi sejauh-jauhnya,” berkata Iswari kemudian.

“Tetapi kita tidak akan menemukan sasaran,” berkata perwira Pajang itu., “Aku yakin, bahwa setelah orang-orangnya tertangkap Ki Rangga akan menarik orang-orangnya dari sarang yang mungkin akan disebut oleh orang-orangnya yang tertangkap itu.”

Iswari mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi ada beberapa buah sarang yang dikenalinya. Mungkin satu dua di antara sarang-sarang itu akan dikosongkan. Tetapi tidak semuanya sebagaimana dikatakan oleh orang yang tertangkap itu.”

Perwira Pajang itu menggeleng, katanya, “Apa yang dikenal oleh seseorang tentu bukan segala-galanya. Tentu ada sarang-sarang lain yang tidak diketahuinya.”

“Jika kita mendengar langsung keterangannya, maka kita dapat menangkap isyarat tentang sarang-sarang yang bertebaran. Memang tidak semuanya dikenal, tetapi Rumpak sebagai seorang yang telah mendapat kepercayaan maka yang diketahuinya bukan sekadar lingkungan yang sempit. Apalagi ada beberapa sumber keterangan yang ada di Tanah Perdikan ini. Selain orang-orang yang tertangkap, maka Damar dan Saruju sendiri akan dapat menjadi sumber keterangan itu.”

Perwira Pajang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan membicarakannya dengan Senapati. Jika Senapati setuju, maka kita akan dapat berangkat. Sepasukan yang disiapkan oleh Pajang dan sekelompok yang lain akan disiapkan oleh Tanah Perdikan Sembojan, meskipun bukan berarti bahwa Sembojan harus dikosongkan.”

Demikianlah, maka Tanah Perdikan Sembojan telah menyiapkan pasukan yang kuat untuk bersama-sama pasukan Pajang menelusuri daerah yang asing untuk mencari sumber kejahatan yang kadang-kadang terasa sangat mengganggu Pajang yang baru tumbuh.

Untuk itu maka Iswari telah memerintahkan Damar dan Saruju untuk ikut.

Namun dalam pada itu, para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan serta para perwira Pajang menganjurkan agar Iswari sendiri tidak usah ikut serta.

“Kenapa?” bertanya Iswari.

“Tanah Perdikan ini sedang mulai berkembang,” jawab seorang perwira Pajang.

Namun Kiai Badra mempunyai pertimbangan lain. Katanya, “Kau harus mengamati Risang. Siapa tahu, justru dalam saat-saat pemburuan itu, mereka telah mengirimkan sekelompok orang yang memiliki kemampuan melampaui orang-orang mereka terdahulu untuk membunuh atau mengambil Risang.”

Iswari termangu-mangu. Namun ketika Kiai Badra menyebut Risang, maka jantungnya memang berdegup lebih keras.

Dengan kepala tunduk maka Iswari pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan tinggal di Tanah Perdikan ini.”

Dalam pada itu, dalam pasukan Tanah Perdikan yang kuat meskipun tidak terlalu banyak jumlahnya terdapat Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung. Gandar sendirilah yang akan memegang pimpinan pasukan Tanah Perdikan Sembojan.

Ketika semua persiapan telah selesai, maka seperti yang diperintahkan oleh para perwira dari Pajang mereka harus mulai bergerak. Mereka diperkenankan membawa tunggul yang pernah diberikan oleh Pajang kepada Tanah Perdikan itu pada saat mereka mendapat wewenang untuk memegang pimpinan di Tanah Perdikan dan melawan pasukan Warsi dan Ki Rangga Gupita.

“Dengan tunggul itu, maka kalian memang bergerak atas nama Pajang,” berkata seorang perwira Pajang. “Daerah yang akan kalian lewati tidak akan merasa tersinggung, karena kalian tidak bergerak atas nama Tanah Perdikan Sembojan, tetapi atas nama pemerintahan Pajang.”

Sebanyak lima kelompok Pasukan Tanah Perdikan telah berangkat. Setiap kelompok terdiri dari duapuluh orang. Sehingga semua kekuatan Tanah Perdikan yang akan ikut dalam usaha penumpasan gerombolan Ki Rangga dan Warsi yang terdiri dari bekas prajurit Jipang dan orang-orang yang pernah menjadi pengikut Kalamerta, semua berjumlah seratus orang ditambah dengan tiga orang pemimpinnya.

Jumlah itu memang terlalu sedikit. Tetapi, prajurit Pajang akan berjumlah tiga kali lipat. Karena Pajang memang ingin menumpas gerombolan itu sehingga tidak akan menimbulkan gangguan-gangguan yang berarti.

Rumpak sendiri, ternyata tidak dibawa oleh pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Namun kecuali Damar dan Saruju, telah ikut pula orang-orang yang tertawan bersama Rumpak.

Namun dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan sendiri, pengawasan dan pengamatan terhadap daerahnya sama sekali tidak menjadi kendor. Bahkan untuk tetap melindungi keluarga Damar dan Saruju, para pengawal telah memindahkan gardu mereka. Untuk sementara gardu terdekat menjadi kosong. Tetapi mereka berada di Serambi rumah Damar dan Saruju itu.

Sedangkan pengamanan terhadap Risang pun telah ditingkatkan pula. Bibi kemudian tidak mempumyai tugas lain kecuali mengasuh Risang bersama pemomongnya selain Iswari sendiri. Bahkan N’yai Sokapun kemudian lebih banyak berada didekat Risang pula.

Sedangkan Kiai Badra dan Kiai Soka mendapat tugas untuk mengamati seluruh isi Tanah Perdikan bersama dengan para pemimpin pengawal.

Demikianlah, maka sebuah pasukan telah bergerak dari Tanah Perdikan Sembojan. Namun mereka telah membawa tunggul yang dapat menjadi pertanda bahwa mereka bergerak atas perintah Pajang. Beberapa Kademangan yang mula-mula terkejut melihat kehadiran sebuah pasukan, kemudian ternyata mereka menyadari, bahwaa pasukan itu bergerak dengan membawa landasan kuasa dari pemerintah di Pajang. Dengan demikian tidak ada sebuah Kademangan pun yang dilalui pasukan Sembojan itu yang merasa berkeberatan.

Di tempat yang sudah ditentukan, pasukan Sembojan itu memang harus berhenti untuk menunggu hadirnya pasukan Pajang dengan kekuatan tiga kali lipat atau lebih.

Dengan menunjukkan atas kuasa yang berupa tunggul itu, maka  pasukan Sembojan telah berhenti dan mendapat tempat menunggu di Banjar Kademangan Kedung Waringin. Bahkan mereka mendapat pelayanan yang sangat baik. Karena menurut Ki Demang di Kedung Waringin usaha untuk menumpas sekelompok gerombolan yang sering melakukan .pengacauan akan banyak artinya bagi Kedung Waringin.

”Pada saat-saat terakhir, Kademangan ini: memang dibayangi oleh segeromboban penjahat yang tidaik begitu jelas tujuannya. Mereka tidak hanya merampas barang dan perhiasan. Tetapi mereka selalu menyebut bahwa mereka berada pada tataran perjuangan untuk menegakkan kembali Kadipaten Jipang. Sehingga seolah-olah mereka tidak sekedar merampok sebagai satu tujuan. Tetapi sebagai langkah untuk melakukan perjuangan yang panjang yang mereka anggap perjuangan yang harus didukung oleh semua orang di lingkungan daerah Demak.”berkata Ki Demang di Kedung Waringin.

Gandar yang memimpm pasukan itu mengangguk-angguk. Katanya, ”Tindakan mereka sudah terlalu.jauh menyakiti hati Tanah Perdikan Sembojan, dan ternyata juga Kademangan-kademangan yang lain.”

Meskipun Gandar tidak menceriterakan hubungan antara garombolan itu dan Tanah Perdikan secara khusus, namun Ki Demang Kedung Waringin dapat menangkap bahwa gerombolan itu telah membuat Tanah Perdikan Sembojan menjadi salah satu daerah yang telah dikacaukannya.

”Untungnya kalian memiliki kekuatan yang cukup besar untuk melawan” berkata Ki Dzanang Kedung Waringin.

“Aku kira jumlah anak-anak muda dan laki-laki dalam batas usia tertentu dibanding dengan jumlah penduduk tidak jauh berbeda dengan Kademangan ini,” jawab Gandar.

Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin demikian. Tetapi di Kademangan ini tidak ada orang yang mampu menghimpun mereka untuk menjadi satu kekuatan yang besar. Kami memang mempunyai sekelompok anak-anak muda yang kami sebut pengawal Kademangan. Bahkan disetiap padukuhan terdapat para pengawal. Namun tidak terlalu banyak dapat diharapkan dari mereka. Aku pun tidak ingin mengorbankan mereka dalam benturan kekerasan dengan gerombolan yang kuat, garang dan kasar itu. Para pengawal tidak akan dapat berbuat apa-apa,” Ki Demang itu berhenti sejenak, lalu. “Tetapi jika aku boleh tahu, apakah anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan ini sudah mendapat gambaran tentang kemampuan gerombolan itu, sehingga jika mereka benar-benar telah berbenturan, mereka tidak akan terkejut atau bahkan menjadi kebingungan?”

“Kami pernah ikut bersama pasukan Pajang bertempur melawan mereka,” jawab Gandar. “Kami pernah berada di medan perang disebelah Timur Pajang menghadapi pasukan Jipang dan kami pun telah berhasil mengusir pasukan dari bekas para prajurit Jipang yang berada di Tanah Perdikan kami.”

“Bukan main,” desis Ki Demang. “Suatu pengalaman yang sangat berharga. Tetapi bagaimanakah Tanah Perdikan Sembojan mamu membentuk suatu pasukan yang kuat. Bukan saja jumlahnya yang besar, tetapi kemampuan yang tinggi.”

“Kami telah menempa anak-anak muda kami. Tidak hanya dalam waktu satu dua hari,” jawab Gandar tanpa menceritakan apa yang pernah terjadi seluruhnya. Gandar juga tidak menceritakan bahwa termasuk orang-orang Jipang yang mula-mula telah menempa anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan.

Namun dalam pada itu Ki Demang Kedung Waringin pun berkata, “Kami ingin melakukan sebagaimana pernah Ki Sanak lakukan di Tanah Perdikan Sembojan, sehingga setidak-tidaknya kami akan dapat melindungi diri kami dari perampokan yang ganas yang sering terjadi Kademangan ini.”

“Ki Demang. Pada waktu yang dekat, akan datang pasukan dari Pajang yang akan bersama-sama dengan kami menuju ke sarang para perampok itu. Kalian dapat mengutarakannya kepada para perwira dari Pajang. Mereka tentu menaruh perhatian dan bersedia membantu kalian, karena kekuatan yang terbangun dari Kademangan-kademangan pada dasarnya adalah kekuatan Pajang pula,” berkata Gandar.

Ki Demang mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Aku akan mencobanya. Tetapi sudah barang tentu aku harus membangkitkan minat anak-anak muda di Kademangan ini untuk melakukannya.”

“Keadaan yang sulit, peristiwa perampokan yang sering terjadi dan keadaan yang tidak menentu, akan mendorong anak-anak muda itu untuk membentuk dirinya. Terdorong oleh tanggung jawab yang tinggi, maka mereka tentu akan berbuat sesuatu,” berkata Gandar.

Ki Demang Kedung Waringin mengangguk-angguk. Kehadiran anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu akan dapat dijadikan contoh betapa anak-anak muda akan mampu berbuat lebih banyak bagi kampung halamannya.

Karena itulah, maka Ki Demang telah memanggil beberapa orang anak muda yang paling berpengaruh di Kademangannya dan pemimpin pengawal yang kemampuannya kurang memadai, mereka diminta oleh Ki Demang untuk berkenalan dan berbicara tentang banyak hal dengan anak-anak Tanah Perdikan Sembojan itu.

Dalam pada itu, ternyata pasukan Tanah Perdikan Sembojan berada di Kedung Waringin untuk waktu yang cukup lama. Mereka telah sempat bermalam pula semalam.

Namun ternyata yang semalam itu telah dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Ki Demang untuk menggugah anak-anak muda Kademangan Kedung Waringin yang seolah-olah sedang terkantuk-kantuk itu.

Di malam itu Gandar sempat menunjukkan kemampuan para pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang tidak ubahnya kemampuan seorang prajurit. Mereka telah melakukan permainan dengan senjata untuk menunjukkan ketangkasan mereka memegang pedang dan tombak. Bahkan anak-anak muda Sembojan itu atas permintaan Ki Demang juga telah menunjukkan kemampuan mereka berkelahi dengan tangan tanpa senjata.

“Luar biasa,” desis Ki Demang. “Aku juga ingin membentuk sekelompok pengawal yang memiliki kemampuan seperti itu.”

Ketika di hari berikutnya pasukan Pajang datang pula di Kademangan Kedung Waringin, maka yang pertama-tama dinyatakan oleh Ki Demang setelah mengucapkan selamat datang adalah niat ntuk menyusun pasukan pengawal yang benar-benar mampu menjaga keselamatan Kademangannya.

“Bagus sekali,” sahut Senapati Pajang yang memimpin pasukan Pajang yang kuat, “Kami ingin memenuhinya setelah tugas ini selesai.”

Demikianlah, pasukan Pajang itu pun telah bermalam pula semalam sehingga pasukan Tanah Perdikan Sembojan sempat pula beristirahat lebih lama dan berhubungan lebih banyak lagi dengan anak-anak muda Kademangan Kedung Waringin.

Namun dihari berikutnya, maka seluruh pasukan telah bersiap untuk melanjutkan perjalanan mereka yang masih panjang. Sebuah iring-iringan pasukan yang kuat. Pajang memang tidak ingin bekerja setengah-setengah.

Meskipun demikian, mereka telah memperhitungkan pula kemungkinan bahwa mereka akan menjumpai sarang yang telah dikosongkan.

Dalam pasukan itu, Damar dan Saruju menjadi bagian dari mereka yang menunjukkan jalan disamping orang-orang yang telah tertangkap bersama Rumpak. Namun seperti dugaan beberapa orang, Damar dan Saruju pun menduga, bahwa sarang-sarang itu telah dikosongkan demikian Rumpak dan kawan-kawannya tertangkap.

Meskipun demikian, pasukan itu harus melihat langsung sarang-sarang yang pernah disebut oleh Damar, Saruju, Rumpak dan yang telah tertangkap lainnya.

Karena itu, maka iring-iringan itu telah menyelusuri untuk beberapa lama Kali Kedawung. Namun kemudian iring-iringan itu mengambil jalan kekiri. Melewati bagian hutan yang lebat yang agak sulit ditembus, kemudian memasuki daerah yang berawa-rawa.

Jalan yang ditempuh oleh pasukan itu memang sulit. Mereka menuju ke kaki Gunung Kukusan.

Untuk beberapa lama iring-iringan itu berjalan dilereng-lereng perbukitan dan kemudian menuruni lembah-lembah yang masih pepat oleh pepohonan.

Jarak yang mereka tempuh memang belum terlalu jauh. Tetapi mereka telah menghabiskan waktu hampir sehari. Mereka hanya beristirahat beberapa saat ketika matahari tepat berada di atas ubun-ubun. Mereka sempat makan dan minum bekal yang mereka bawa. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan mereka yang berat.

Namun Senapati yang memimpin pasukan itu tidak memaksakan pasukannya untuk memeras tenaga dihari pertama. Meskipun matahari masih agak tinggi, namun Senapati pasukan itu udah memberikan isyarat, bahwa mereka akan mencari tempat untuk bermalam.

Beberapa orang telah memencar. Ternyata dua orang di antara mereka telah menemukan tempat yang sangat baik untuk bermalam. Mereka menemukan sebuah dataran yang terdiri dari hamparan batu padas. Satu dua batang pohon yang kurus tumbuh mencuat dari sela-sela batu padas itu.

Senapati Pajang itu pun telah membawa pasukannya ke hamparan batu padas itu.

Ternyata beberapa orang sependapat, bahwa tempat itu adalah yang paling baik untuk bermalam. Apalagi disebelahnya terdapat air terjun yang meskipun hanya kecil, namun dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya. Bahkan untuk minum sekalipun.

Beberapa puluh langkah dari hamparan batu padas itu terdapat hutan perdu yang luas. Namun karena letaknya dilereng bukit, maka padang itu terdiri dari tebing-tebing yang curam, celah-celah lembah yang miring dan bahkan jurang-jurang yang dalam.

Senapati itu pun kemudian memerintahkan pasukannya untuk beristirahat meskipun matahari masih nampak dan panasnya masih terasa menyengat tengkuk. Namun para prajurit itu memang telah merasa letih menempuh perjalanan yang berat itu.

“Setelah kita melewati puntuk itu, maka akan terdapat jalan setapak. Namun lebih baik dari jalan yang telah kita lewati. Kita akan menuju ke daerah disela-sela Gunung Kemukus itu dengan Gunung Lawu,” berkata Damar kepada Gandar.

“Mereka memilih tempat yang sulit,” desis Gandar.

“Mereka harus tetap berada ditempat yang tersembunyi,” jawab Damar. “Hanya jika mereka memerlukan sesuatu, maka sekelompok orang akan turun. Juga jika mereka menganggap perlu untuk mendapat sesuatu yang menurut istilah mereka dana bagi perjuangan untuk menegakkan Jipang kembali. Mereka melintasi jalan yang sulit untuk kemudian memasuki padukuhan-padukuhan yang mereka anggap menyimpan barang-barang berharga, atau uang. Perolehan mereka itu kemudian mereka bawa ke sarang mereka kembali untuk disimpan sehingga saatnya Ki Rangga dan Warsi mengambilnya untuk dikumpulkan.”

“Tempat untuk mengumpulkan hasil rampasan itulah yang belum pernah kalian sebut. Juga Rumpak tidak menyebut,” berkata Gandar.

Tetapi Saruju yang menggeleng berkata, “Tidak seorang pun di antara kami yang mengetahuinya. Penyimpanan itu dilakukan oleh Ki Rangga dan Warsi. Mungkin dua tiga orang kepercayaan mereka sajalah yang tahu dimana harta benda itu disimpan.”

Gandar mengangguk-angguk. Ia percaya akan keterangan itu. Ki Rangga dan Warsi tentu tidak akan mempercayai orang-orangnya sepenuhnya.

Malam itu, pasukan Pajang dan Tanah Perdikan Sembojan telah bermalam di tempat terbuka dengan satu dua batang pohon yang tumbuh dicelah-celah batu padas. Meskipun batu padas itu dibeberapa bagian berlumut dan terasa basah, tetapi dibeberapa bagian hamparan itu cukup baik bagi para prajurit untuk bermalam.

Mereka telah mulai membuat perapian ketika matahari tenggelam. Beberapa perapian menerangi tempat itu. Bukan saja menerangi, tetapi juga menghangatkan tempat yang udaranya terasa sangat dingin sampai menggigit tulang.

Sementara itu, beberapa orang mendapat tugas untuk berjaga-jaga. Mereka bergantian berjalan hilir mudik di antara pasukan yang sedang beristirahat itu.

Namun menjelang dini hari, sekelompok yang lain telah terbangun pula. Mereka sibuk menyiapkan makan dan minuman bagi kawan-kawan mereka, meskipun hanya sekadarnya sesuai dengan kemungkinan yang dapat mereka berikan ditempat yang khusus itu.

Menjelang matahari terbit, bergantian mereka telah pergi ke parit dibawah air terjun yang tidak terlalu besar. Namun ternyata disebelah lain mereka juga menemukan mata air yang dapat pula mereka pergunakan untuk mandi.

Ketika matahari mulai naik, maka pasukan itu telah selesai. Mereka telah mulai makan dan minum. Kemudian mereka tinggal menunggu perintah Senapatinya untuk berangkat.

Sementara itu, ternyata Senapati itu masih memberikan beberapa pesan. Pada bagian terakhir ia berkata, “Kita jangan sampai kehabisan tenaga dalam perjalanan. Karena itu, kita berjalan sesuai dengan tenaga yang dapat kita berikan untuk sehari. Namun nampaknya kita akan segera sampai ketempat tujuan, Mungkin besok.”

Senapati itu memang telah berbicara dengan Damar dan Saruju. Juga orang yang mereka bawa sebagai penunjuk jalan, di antara mereka yang tertangkap bersama Rumpak.

Jalan yang kemudian mereka tempuh memang masih saja sulit. Sesuai dengan perintah Senapati, maka mereka tidak memaksa diri untuk mencapai jarak tertentu. Tetapi mereka lebih banyak memperhatikan keadaan diri mereka. Jika mereka kemudian menjadi sangat letih dan kemudian mereka menjumpai lawan yang kuat, maka keadaan mereka akan menjadi gawat.

Namun seperti yang dikatakan Damar, maka setelah mereka melampaui sebuah bukit, maka mereka turun ke jalan setapak. Jalan itu memang tidak terlalu baik, tetapi agaknya jalan itu sering dilalui orang-orang padukuhan untuk melintas dan mencari kayu ke hutan.

Namun Senapati dari pasukan itu menjadi heran, bahwa mereka melihat dari tempat yang tinggi, sebuah padukuhan kecil di lereng agak ke bawah.

“Bagaimana mungkin ada padukuhan di tempat itu?” bertanya Senapati itu.

Saruju lah yang kemudian memberikan keterangan, “Padukuhan itu mempunyai jalur hubungan melalui jalan Utara.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya pula, “Tetapi apakah ada jalur jalan yang cukup baik?”

Saruju menggeleng. Katanya, “Tidak. Hanya ada jalan setapak seperti jalan yang kita lalui sekarang.”

“Apakah yang menjadi makanan pokok mereka yang tinggal di padukuhan itu?” bertanya Senapati.

“Mereka mempunyai pategalan yang cukup luas. Bahkan dibawah padukuhan itu terdapat sawah bertingkat. Air bukan masalah yang sulit, sebagaimana kita lihat disini. Mereka menanam ketela pohon di pategalan dan menanam padi disawah,” jawab Saruju.

Tentang kebutuhan lain? Garam misalnya?” bertanya Senapati itu pula.

“Mereka harus turun lewat jalur Utara menuju ke sebuah padukuhan yang cukup jauh. Ada sebuah pasar kecil di padukuhan itu. Jika mereka mulai turun menjelang matahari terbit, menjelang senja mereka baru kembali dengan membawa garam dan kadang-kadang kebutuhan yang lain.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga bertanya, “Apakah padukuhan itu tidak sering diganggu oleh para pengikut Ki Rangga?”

“Padukuhan itu miskin. Tidak ada apapun yang berarti yang dapat diambil. Namun kadang-kadang di antara orang-orang Ki Rangga dan Warsi ada juga yang sering singgah di padukuhan itu sekadar memerlukan makan. Nasi atau ketela pohon,” jawab Saruju.

“Tetapi darimana orang-orang itu mendapat uang untuk membeli garam, pakaian atau keperluan-keperluan lain?” bertanya Senapati itu pula.

“Mereka menanam pohon kelapa. Tetapi mereka juga beternak ayam dan kambing. Sekali-kali orang-orang Ki Rangga memang mengambil kambing dari padukuhan itu. Tetapi jarang sekali. Bahkan kadang-kadang kambing itu dibelinya, meskipun uangnya juga sekadar hasil rampasan,” jawab Saruju.

Senapati itu mengangguk-angguk. Ia kemudian mendapat gambaran jalan yang harus mereka tempuh.

“Sarang yang satu dengan yang lain tidak terlalu dekat jaraknya,” berkata Saruju kemudian.

“Tetapi dimana Ki Rangga dan Warsi sering tinggal?” bertanya Senapati itu.

“Kami tidak mengetahuinya. Bahkan hampir setiap orang dari sarang yang berbeda jika saling bertemu, tidak seorang pun yang dapat mengatakan, sebagian besar waktunya Ki Rangga dan Warsi itu berada dimana. Sekali-kali mereka berada di salah satu sarang. Tetapi tidak lebih dari dua malam, Ki Rangga dan Warsi tentu sudah berpindah tempat. Bahkan kadang-kadang ia tidak berada di manapun untuk waktu yang agak lama,” jawab Saruju.

Senapati itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah kita akan melewati padukuhan kecil itu?”

“Sebaiknya tidak,” jawab Saruju. “Jika ada orang-orang Ki Rangga yang kebetulan berada di tempat itu, maka mereka akan dapat memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk menghindar.”

Senapati itu mengangguk-angguk, sementara Saruju berkata selanjutnya, “Padukuhan itu bukan satu-satunya. Disebelah nanti kita akan menjumpai lagi padukuhan serupa.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi.

Demikianlah iring-iringan itu telah menyusuri jalan setapak dilereng pegunungan. Sekali-kali mereka hilang ditelan rimbunnya dedaunan. Namun kemudian mereka berjalan melalui wajah batu padas yang keras dan kadang-kadang berujung runcing.

Ternyata bahwa di daerah itu air cukup melimpah. Dilereng-lereng air menitik seperti diteritis rumah. Kemudian mengalir lewat relung-relung batu padas dan akhirnya menjadi parit-parit kecil.

Agaknya air itu tetap menitik disegala musim. Meskipun kemarau mengeringkan ngarai namun agaknya air didinding perbukitan itu tetap menitik.

Ketika mereka harus beristirahat di siang hari maka Senapati itu telah memanggil beberapa rang pemimpin kelompok di dalam pasukannya. Ia pun telah memanggil Gandar, Damar dan Saruju.

Sambil menunggu matahari turun ke arah Barat setelah melewati puncak, maka mereka telah membicarakan rencana perjalanan mereka.

“Aku memilih sasaran yang belum pernah dihuni oleh Damar, Saruju atau Rumpak dan orang-orangnya. Mungkin kau pernah melihat satu di antara sarang-sarang itu. Jika mungkin yang cukup besar dan berarti,” berkata Senapati itu.

Gandar dan para perwira Pajang sependapat. Namun sasaran itu harus mereka tentukan. Apa-kah ada di antara mereka yang dapat menunjukkan sasaran itu, terutama Damar dan Saruju.

Untuk beberapa saat Damar dan Saruju merenung. Namun tiba-tiba dipanggilnya seorang di antara orang-orang yang tertawan bersama Rumpak yang dibawa serta dalam iring-iringan itu.

“Nah,” berkata Damar. “Bukankah kau pernah mendatangi sarang-sarang yang lain kecuali sarangmu sendiri? Kau pernah mendapat tugas untuk membawa barang-barang rampasan. Nah, agaknya kau akan dapat menunjukkannya.”

“Aku tidak pernah,” jawab orang itu. “Bukan aku yang harus membawa barang-barang rampasan.”

“Jangan berbohong. Di Tanah Perdikan Sembojan kau sudah bersikap baik. Kau telah bersedia mengadakan kerja sama dengan kami. Tetapi kini tiba-tiba kau ingkar dari kesediaanmu itu,” berkata Damar.

“Benar Damar,” sahut orang itu. “Aku memang sudah bersedia, untuk bekerja sama karena aku tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi aku tidak pernah mendapat tugas membawa barang-barang itu. Meskipun demikian, barangkali aku dapat menyebutnya satu di antara sarang yang lain kecuali tempat tinggalku, hanya sekadar dari sebuah percakapan dengan seorang kawan yang bertugas di tempat lain, namun yang bersama-sama mendapat perintah untuk turun dan mengambil kekayaan seseorang.”

Damar mengangguk-angguk. Katanya, “Nah, sebutkan. Kita sudah sampai disini. Pada umumnya sarang itu dapat ditempuh lewat jalan ini, meskipun ada satu dua yang menurut pendengaranku berada di arah lain.”

Orang itu pun kemudian menyebut satu di antara sarang para pengikut Ki Rangga yang pernah diketahuinya. Meskipun ia sendiri belum pernah datang ketempat itu, tetapi ancar-ancar itu terasa agak jelas. Justru lebih dekat dari yang lain.

“Baiklah,” berkata Senapati itu. “Kita akan mencoba mendatangi sarang itu. Kita harus mengepungnya dan tidak memberi kesempatan seorang pun lolos, agar kedatangan kita tidak segera tersebar di antara mereka.”

Tetapi Senapati itu tidak akan mengepung tempat itu segera. Mereka menunggu matahari turun. Kemudian mereka akan melanjutkan perjalanan mendekati sarang itu. Mereka akan bermalam di sekitar sarang itu dan sekaligus mengamatinya. Jika orang-orang Ki Rangga itu menyadari, maka kepungan justru akan dirapatkan. Senapati itu akan menunda pertempuran sampai hari berikutnya setelah matahari terbit. Tetapi jika malam itu orang-orang di sarang itu memaksakan pertempuran, maka apaboleh buat.

Tetapi Damar kemudian berkata, “Senapati. Orang-orang disarang itu lebih memahami medan daripada kita. Pengalaman mereka sebagai prajurit Jipang dan kehidupan yang keras selama ini, membuat mereka menjadi keras dan bahkan kasar dan liar. Karena itu aku minta dipertimbangkan, jika harus terjadi pertempuran di malam hari di medan yang sangat berat ini.”

“Tetapi prajurit-prajurit Pajang juga prajurit yang terlatih. Tidak lebih buruk dari prajurit Jipang,” jawab Senapati itu, “Kami telah ditempa untuk bertempur siang atau malam.”

“Tetapi satu kelebihan dari bekas prajurit-prajurit Jipang itu,” berkata Damar.

“Apa?” desak Senapati itu.

“Seperti yang sudah aku katakan. Mereka lebih mengenal daerah ini. Padahal seperti yang kita lihat, daerah ini adalah daerah yang sulit. Jika kita harus bertempur di malam hari, maka kita akan banyak mengalami kesulitan karena lereng-lereng terjal dan batu-batu padas yang licin. Celah-celah berbatuan yang menganga dan seperti kita lihat, alam tidak terlalu ramah disini,” sahut Damar.

Ternyata Senapati itu memahami keterangan Damar. Karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah. Aku mendengarkan petunjukmu. Tetapi lalu apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?”

“Jangan terlalu dekat,” berkata Damar. “Besok dini hari kita merangkak mendekat, sehingga pada saatnya matahari naik, kita sudah dapat mengepung tempat itu. Seperti aku katakan, aku belum pernah melihat tempat itu. Orang yang menyebut tempat itu belum pernah dilihatnya pula. Karena itu, menilik keadaan alam ditempat ini, maka kita dapat membayangkan tempat yang akan kita tuju.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya kau juga mempunyai pengamatan setajam prajurit. Meskipun sebenarnya aku yakin akan kemampuan prajurit-prajuritku, namun aku sependapat denganmu. Kita akan memperlambat gerak pasukan ini. Tetapi aku akan mengirimkan dua orang untuk berusaha melihat-lihat keadaan di sekitar tempat ini.”

Damar mengangguk-angguk. Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, Senapati itu mendahului, “Aku tahu, kau akan berpesan agar kedua orang itu berhati-hati. Mungkin orang-orang Ki Rangga Gupita melihat keduanya lebih dahulu, sehingga persoalannya akan menjadi lain.”

Damar mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum.

“Dua orangku tidak akan pergi terlalu jauh dari pasukan. Mereka hanya akan mengamati keadaan disekitar tempat ini,” berkata Senapati itu.

Damar mengangguk-angguk. Sementara itu, Senapati itu pun berkata kepada Gandar, “Kau berikan seorang di antara orang-orangmu. Biarlah bertiga mereka mengamati keadaan. Kita akan menunggu sambil beristirahat disini. Menurut perhitungan Damar, tempatnya sudah tidak terlalu jauh lagi.”

Demikianlah, ketiga orang yang sudah disiapkan itu pun segera meninggalkan induk pasukan. Mereka mendapat waktu beberapa saat untuk mengamati keadaan. Mereka harus segera kembali dan memberikan laporan tentang pengamatan mereka. Pasukan itu masih akan maju beberapa tonggak lagi, justru mengambil jalan yang bergeser dari arah semula, karena mereka akan mendatangi sarang yang lain, yang menurut salah seorang di antara mereka yang tertangkap bersama Rumpak, justru berada ditempat yang lebih dekat, meskipun arahnya berubah.

Ketiga orang yang mengamati keadaan itu memang melihat, bahwa medannya terlalu berat. Sangat berbahaya bagi mereka untuk bertempur di malam hari. Mereka pun kemudian melihat jalur jalan setapak yang berbelok. Agaknya jalan itulah yang harus mereka tempuh menuju ke sarang yang akan menjadi sasaran pertama itu.

Beberapa tonggak mereka mengikuti jalur jalan yang bergeser dari arah semula itu. Namun mereka pun tidak menemukan sesuatu yang menarik, kecuali jalan yang sulit ditepi tebing yang tinggi atau jurang yang dalam.

Namun waktu mereka tidak terlalu banyak. Mereka pun harus segera kembali untuk melaporkan apa yang telah mereka lihat.

Sejenak kemudian, ketiganya telah memberikan laporan tentang daerah itu. Semuanya masih tetap seperti lingkungan di sekitar mereka. Daerah perbukitan di Gunung Kukus itu memang masih agak sulit dilalui. Tetapi mereka harus menempuh jalan itu.

Setelah matahati turun, maka pasukan itu telah bergerak kembali. Tetapi tidak terlalu cepat. Mereka akan berhenti lagi ditempat yang tidak terlalu dekat dengan sasaran. Dimalam hari jika mereka harus membuat perapian karena dingin, serta sekelompok yang harus menyiapkan makanan dan minuman, agar tidak akan tampak dari sarang yang akan mereka tuju.

Perjalanan berikutnya memang sulit. Jumlah pasukan yang banyak berjalan dijalan setapak, merupakan iring-iringan yang panjang, seperti iring-iringan semut di atas bebatuan. Merangkak berkelok-kelok mengikut jalan yang juga berkelok-kelok.

Namun seperti yang dikatakan Damar, maka mereka tidak akan berada ditempat yang terlalu dekat. Setelah mereka menempuh jalan yang berbelok dari arah semula, maka beberapa saat kemudian mereka telah mencari tempat untuk bermalam.

Ternyata mereka tidak menemukan tempat yang baik. Tetapi sebagai prajurit, mereka sama sekali tidak mengeluh.

“Batasi perapian,” berkata Senapati itu. “Usahakan berada ditempat yang terlindung dari arah sasaran.

Para prajurit dan para pengawal dari. Tanah Perdikan itu menyadari arti perintah itu. Karena itu, maka mereka pun telah berusaha untuk mencari tempat yang paling baik untuk membuat -perapian. Itu pun mereka buat setelah malam turun.

Ternyata malam itu tidak terjadi sesuatu. Beberapa orang diantara para prajurit mendapat tugas untuk mengamati keadaan. Meskipun mereka kedinginan oleh udara malam lereng pagunungan, namun mereka tetap dalam tugas mereka.

Dalam malam yang kelam, Senapati yang memimpin pasukan Pajang itu menjadi semakin menyadari, bahwa medan memang terlalu berat. Ia sendiri seakan-akan segan untuk beringsut dari tempatnya. Ketika ia berjalan diantara para prajuritnya yang baru saja tertidur nyenyak di sebelah perapian yang meredup, hatinya menjadi berdebar-debar melihat kegelapan yang menganga. Diambilnya sebuah batu sebesar genggaman tangannya dan dilemparkannya.

Baru yang hilang di dalam gelap itu ternyata telah meninggalkan suara gemerasak memanjang.

”Jika seseorang yang sedang bertempur terperosok kedalamnya, digelapnya malam lagi, maka tidak ada orang yang dapat menolongpya” berkata Senapati itu kepada diri sendiri.

Hampir semalam suntuk Senapati Pajang itu tidak tertidur sebagaimana Gandar. Namun menjelang diri hari Gandar dapat tertidur beberapa saat lebih dahulu dari Senapati itu.

Sementara itu, beberapa orang telah bangun. Mereka adalah orang-orang yang mendapat tugas untuk menyediakm makan dan minum bagi sekelompok prajurit itu.

”Kita tidak mempunyai air yang cukup” berkata salah seorang diantara mereka, ”yang kita sediakan sejak kemarin hanyalah cukup untuk menanak nasi. Tetapi tidak untuk buat minuman.”

”Biarlah mereka mencari minum seadiri-sendiri” sahut kawannya, ”tetapi agaknya lingkungan ini tidak terlalu sulit untuk mencari air.”

”Apakah kita akan mengumpulkan air dari, titik-titik air di lereng itu”?

Nanti sajalah. Sekarang kita harus menyediakan nasi. Kita masih mempunyai, sebungkus besar serondeng dan dendeng yang dapat dipergunakan untuk lauk bagi para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan itu.”

Sebelum matahari terbit, maka para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan Sembojan telah mendapat bagian, mereka masing-masing yang dibungkus dengan daun pisang yang sudah mulai berwarna kekuning-kuningan.

Tetapi itu tidak penting. Yang penting mereka sempat makan nasi hangat dengan serundeng dan dendeng. Namun pagi itu mereka tidak mendapat minuman hangat.

Demikianlah, sebelum matahari itu mulai memancar, pasukan itu mulai bergerak. Tiga orang telah mendahului pasukan itu untuk mengamati keadaan. Seorang diantara mereka bertiga adalah Sambi Wulung.

Namun tiba-tiba saja ketiga orang itu harus dengan cepat menyelinap ke balik sebuah gerumbul. Dari arah depan mereka melihat dua orang yang berjalan turun dari kaki bukit.

Untunglah bahwa pada jalan yang berkelok kedua orang itu tidak melihat lebih dahulu tiga orang yang berjalan di arah bawah mereka karena jalan yang menurun. Karena itu, maka ketiga orang itu sempat bersembunyi dibalik gerumbul.

Namun seorang diantara mereka berbisik, ”Apa yang kita lakukan atas orang itu?”

”Mereka akan bertemu juga dengan iring-iringan di belakang kita.” sahut Sambi Wulung.

”Kita harus menangkap mereka. Mau tidak mau. Tetapi kita harus muncul dari balik gerumbul setelah mereka lewat. Sehingga jika rnereka berusaha, untuk berlari kebawah, mereka akan terjebak juga oleh pasukan kita.” berkata seorang yang lain.

Ketiganya segera berdiam diri, karena kedua orang itu menjadi samakin dekat.

Seperti yang direncanakan, mereka bertiga yang bersembunyi di balik gerumbul itu sama sekali tidak bergerak ketika kedua orang itu lewat. Namun demikian mereka berada beberapa langkah membelakangi mereka, maka hampir berbareng ketiganya telah meloncat dari gerumbul.

Kedua orang itu terkejut. Mereka segera meloncat berbalik dan, bersiaga menghadapi segala kemungkinan dengan sikap  yang meyakinkan.

”Keduanya tentu prajurit” desis seorang diantara prajurid Pajang itu.

Sambi Wulung mengangguk. Sementara itu ketiga orang itu pun maju beberapa langkah mendekat.

“Siapa kalian,” salah seorang dari kedua orang itulah yang justru telah bertanya.

Seorang dari prajurit Pajang itu pun maju pula selangkah. Dengan nada rendah ia menjawab, “Kami datang untuk menemui kalian. Tetapi sebut, apakah kalian memang orang yang kami cari?”

“Siapa yang kalian cari?” bertanya orang itu.

“Bukankah kalian bekas prajurit Jipang yang bersembunyi di daerah ini?” prajurit Pajang itu langsung menunjuk.

Kedua orang itu menjadi tegang. Sementara itu prajurit Pajang itu berkata, “Masih sepagi ini kalian telah turun. Mungkin kalian membawa tugas penting?”

Kedua orang itu menjadi semakin tegang. Mereka sadar, bahwa mereka telah berhadapan dengan orang-orang yang akan mengganggu ketenangan sarang mereka.

Namun seorang di antara mereka masih berkata, “Aku adalah penghuni padukuhan sebelah. Aku sedang mencari daun kates grandel untuk obat.”

“Baiklah. Jika demikian ikut kami,” berkata prajurit Pajang itu.

Kedua orang itu saling berpandangan. Namun yang seorang kemudian bertanya, “Untuk apa? Dan siapakah kalian?”

“Sudahlah. Kita sudah saling mengetahui. Kau adalah penghuni sarang para pengikut Ki Rangga Gupita. Sebaiknya kita berterus terang,” jawab prajurit Pajang itu.

“Dan kau adalah orang Tanah Perdikan Sembojan,” tiba-tiba orang itu menebak.

Yang menyahut adalah Sambi Wulung, “Ya. Aku adalah orang Tanah Perdikan Sembojan. Adalah kebetulan bahwa kita bertemu disini. Sebaiknya kalian bersedia menunjukkan dimana sarangmu itu. Kami baru mengetahui ancang-ancangnya.”

“Persetan,” geram kedua orang itu hampir berbareng.

“Jangan menentang. Tidak ada gunanya. Kau pun tidak akan dapat lari karena jalur jalan itu tertutup. Kecuali kau memang ingin meloncat ke dalam jurang itu,” berkata prajurit Pajang itu.

Kedua orang itu menjadi termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka kemudian berkata, “Terserah, kau sebut siapa saja kami berdua. Tetapi kami bukan pengecut yang menyerahkan kedua pergelangan tangan untuk diikat.”

Prajurit Pajang itu pun menggeram. Katanya, “Kau terlalu sombong. Baiklah. Jika demikian kami harus mempergunakan kekerasan untuk memaksamu menyerah.”

Di luar sadarnya kedua orang itu memandang ke atas, kelereng bukit yang lebih tinggi. Agaknya memang terlalu jauh, untuk berteriak memberikan isyarat kepada kawan-kawan mereka.

Karena itu, maka yang dapat dilakukannya adalah melawan ketiga orang itu dengan segenap kemampuan yang ada.

Kedua prajurit Pajang itu pun segera bersiap. Demikian pula Sambi Wulung. Sementara itu kedua orang yang turun dari bukit itu pun telah mempersiapkan diri pula. Dari sikap mereka tentu bekas prajurit Jipang.

“Bukan salahku jika kalian bertiga akan menjadi makanan burung pemakan bangkai yang banyak berkeliaran di daerah ini,” berkata salah seorang dari kedua orang itu.

“Biarlah kami menyelesaikannya,” berkata salah seorang prajurit Pajang itu kepada Sambi Wulung. “Kau berjaga-jaga saja jika ada di antara mereka yang berusaha untuk melarikan diri.”

Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Agaknya orang Pajang ini juga mempunyai sifat yang sombong. Karena ia datang dari Tanah Perdikan, maka orang-orang Pajang itu tentu menganggapnya tidak mempunyai kemampuan setingkat dengan para prajurit itu.

Tetapi Sambi Wulung tidak menanggapi, justru pada saat musuh berada di depan hidung mereka. Sambi Wulung itu lebih senang mematuhi keinginan kedua prajurit Pajang itu untuk berjaga-jaga.

Sejenak kemudian, dua orang prajurit Pajang itu telah bergerak mendekat. Mereka mulai bergeser dan menempatkan diri menghadapi kedua orang yang dianggapnya bekas prajurit Jipang itu.

Sambi Wulung memperhatikan sikap keempat orang itu dengan jantung yang berdebaran. Keempat orang itu nampaknya memiliki bekal yang seimbang. Namun sebelum mereka mulai dengan pertempuran, agaknya memang sulit untuk menilai, siapakah di antara mereka yang terbaik.

Sejenak kemudian, maka prajurit Pajang itu pun telah mulai menyerang. Mereka tidak ingin mempergunakan waktu yang berkepanjangan. Karena itu, maka mereka pun segera menarik senjata mereka sehingga kedua orang yang turun dari bukit itu pun telah menggenggam senjata mereka pula.

Demikianlah, maka pertempuran antara dua orang prajurit Pajang dan dua orang lawannya itu berjalan dengan sengitnya. Seperti yang diduga oleh Sambi Wulung, kedua pihak memang memiliki tingkat ilmu yang sama. Namun ternyata bahwa orang yang baru turun dari bukit itu memiliki pengenalan yang lebih akrab dengan lingkungan, sehingga mereka tidak begitu banyak terganggu oleh arena yang nampaknya memang berbahaya.

Karena itulah, maka kedua prajurit Pajang itu pun mulai terdesak. Kecuali memperhatikan tata gerak lawan, keduanya harus sangat berhati-hati menempatkan kaki mereka, karena mereka akan dapat tergelincir.

Sambi Wulung menjadi semakin tegang. Tetapi ia masih belum melibatkan diri. Ia ragu, apakah para prajurit Pajang itu tidak tersinggung jika ia langsung memasuki pertempuran.

Namun dalam keadaan yang mendesak. Sambi Wulung sudah mempersiapkan diri.

Belum lagi Sambi Wulung memasuki pertempuran, tiba-tiba saja seorang di antara kedua prajurit itu telah tergelincir. Untunglah bahwa tangannya sempat meraih sebatang pohon perdu yang tumbuh di lereng jurang dipinggir jalan. Namun pada saat yang demikian lawannya tiba-tiba saja tertawa sambil mengayunkan senjatanya. Katanya, “Jika pohon ini aku patahkan, maka kau akan dihisap oleh dalamnya jurang. Kepalamu akan terhempas pada batu padas dibawah itu.”

Namun sebelum hal itu terjadi, maka Sambi Wulung dengan tangkasnya telah meloncat menyerang. Serangannya beruntun mengejutkan. Sambi Wulung pun mempergunakan pedang pula sebagaimana lawannya.

Namun pada benturan pertama lawannya benar-benar terkejut. Sambi Wulung ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar.

Tetapi lawannya itu tidak menunjukkan kecemasannya. Ia pun dengan sigap memperbaiki keadaannya. Kemudian ia pun telah membalas menyerang dengan kecepatan yang tinggi.

Sementara itu, prajurit Pajang yang tergantung di atas jurang itu mengalami kesulitan.

Ketika prajurit Pajang itu berusaha untuk naik, maka batang perdu tempatnya bergantung itu justru semakin runduk. Setiap ia bergerak, maka batang itu terasa akan menjadi patah.

Sementara itu, prajurit Pajang yang seorang lagi masih juga terdesak oleh lawannya yang mempunyai pengalaman lebih baik di atas medan yang tidak terlalu luas dan licin.

Sambi Wulung ternyata mengetahui kesulitan prajurit Pajang yang bergantung pada batang perdu itu. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk menekan lawannya secepatnya agar ia mendapat kesempatan untuk menolong prajurit itu.

Ternyata bahwa dugaan prajurit Pajang tentang orang-orang Sembojan itu keliru. Jika semula para prajurit Pajang itu mengalami kesulitan karena medan, ternyata Sambi Wulung mampu mengatasinya. Dengan mengerahkan tenaga cadangannya, maka kekuatannya bagaikan berlipat. Kecepatan geraknya pun melampaui kecepatan burung sikatan menyambar belalang.

Lawannya benar-benar terdesak. Dengan hati-hati Sambi Wulung berusaha untuk mendesak lawannya mendekati pertempuran antara prajurit Pajang yang seorang lagi.

Dalam pertempuran yang keras, maka bekas prajurit Jipang itu tidak mampu melindungi dirinya sendiri. Tiba-tiba saja ujung pedang Sambi Wulung telah tergores di dadanya. Namun goresan itu hanya goresan tipis meskipun memanjang.

Namun demikian, dari goresan itu telah menitik darah yang membasahi bajunya yang koyak.

Pada kesempatan itu, maka Sambi Wulung pun kemudian berteriak kepada prajurit Pajang yang seorang, “Tinggalkan lawanmu. Tolonglah kawanmu itu.”

Prajurit Pajang itu tidak segera dapat meninggalkan lawannya. Lawannya yang menyadari kesulitan prajurit yang bergantung pada pohon perdu itu tidak mau melepaskan lawannya yang akan menolong prajurit Pajang itu. Bahkan ia pun justru semakin menekan prajurit Pajang itu dan berusaha untuk mendesaknya masuk ke dalam jurang.

Sambi Wulung yang kemudian mencemaskan kedua prajurit Pajang itu, akhirnya mengambil keputusan untuk mengakhiri perlawanan lawannya yang keras, garang dan kasar itu. Ternyata Sambi Wulung pun mampu bertempur dengan keras, garang dan kasar. Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian, pedangnya pun telah berputar seperti baling-baling. Kekuatannya pun meningkat sejalan dengan meningkatnya kecepatan geraknya.

Lawannya yang terluka itu memang menjadi bingung. Betapapun ia akrab dengan medan, tetapi lawannya terlalu kuat dan terlalu cepat baginya. Karena itu, maka sekali lagi segores luka telah menganga di pundakya. Lebih dalam dari luka semula.

Orang itu mengaduh tertahan. Belum lagi ia memperbaiki keadaannya, maka serangan berikutnya telah menerkamnya pula.

Sambi Wulung benar-benar menjadi garang. Apalagi ketika kemudian prajurit Pajang yang tergantung itu mulai memanggil kawannya. Katanya dengan nada tinggi, “Tolong, pohon ini akan patah.”

“Bertahanlah sebentar,” Sambi Wulunglah yang berteriak menjawab.

Satu serangan yang cepat dan keras, tidak lagi dapat dihindari oleh lawannya. Demikian tiba-tiba terasa ujung pedang Sambi Wulung itu telah tergores dilambungnya pula.

Bekas prajurit Jipang itu terdorong surut. Hampir saja ia pun tergelincir dan masuk ke dalam jurang. Namun ternyata bahwa ia telah berhasil menjatuhkan dirinya dan tertahan oleh sebuah pohon yang lebih kuat dari sebatang pohon perdu yang digantungi oleh prajurit Pajang itu.

Oleh luka-lukanya, maka bekas prajurit Jipang itu tidak lagi mampu untuk bangkit. Darah mengalir dengan derasnya dari tiga lukanya.

Karena itu, maka ia pun tetap terbaring bertumpu pada sebatang pohon sehingga ia tidak terguling jatuh betapapun tubuhnya merasa lemah.

Setelah Sambi Wulung kehilangan lawannya, ia tidak langsung menolong prajurit Pajang itu, karena prajurit Pajang yang bertempur itu pun telah mengalami kesulitan. Karena itu, maka ia pun meloncat mengambil alih perlawanan prajurit Pajang itu dan berkata kepadanya, “Tolong kawanmu. Tetapi hati-hati. Jangan kau sendiri justru terseret pula masuk ke dalam jurang.”

Bekas prajurit Jipang itu mengumpat. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia pun kemudian ternyata mendapat lawan yang jauh lebih berat dari prajurit Pajang itu.

Demikian terlepas dari lawannya, maka prajurit Pajang itu berusaha untuk menolong kawannya. Tepat pada saat ia menelungkup menggapai tangan kawannya sambil berpegangan pada sebatang pohon yang lain, maka perdu tempat prajurit itu bergantung mulai berderak.

“Tangkap tanganku,” berkata prajurit Pajang yang berusaha menolong itu.

Ternyata pertolongan itu tepat datang pada waktunya. Sejenak kemudian, dengan susah payah prajurit Pajang itu dapat naik ke atas bibir jurang.

Sejenak keduanya duduk dengan nafas terengah-engah. Baru kemudian prajurit yang terperosok itu bertanya, “Di mana lawan yang seorang lagi?”

Prajurit Pajang yang menolongnya itu menunjuk ke arah sesosok tubuh yang terbaring diam, tersangkut pada sebatang pohon.

“Siapa yang melumpuhkannya?” bertanya prajurit itu.

Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia menunjuk kepada Sambi Wulung.

Prajurit Pajang yang baru saja tertolong itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Sambi Wulung itu mampu berbuat lebih baik dari prajurit Pajang. Bahkan orang itu telah mampu mengalahkan kedua lawannya yang semula bertempur melawan dua orang prajurit Pajang.

Sebenarnyalah Sambi Wulung telah mengalahkan lawannya yang seorang lagi. Dengan serangan yang keras Sambi Wulung mendesak lawannya. Namun ternyata lawannya itu masih dapat menghindar. Tetapi Sambi Wulung tudak melepaskannya. Ketika ujung pedngnya tidak menyentuh sasaran, maka ia telah memutar pedangnya dan dengan serangan mendatar ia mendesak lawannya.

Lawannya yang tidak mempunyai banyak kesempatan itu berusaha untuk bergeser meskipun kakinya telah berada dibibir jurang.

Serangan mendatar itu memang tidak mengenai lawannya. Tetapi sebelum lawannya sempat memperbaiki keadaannya, pedang Sambi Wulung itu telah berputar dan mematuk dada lawannya.

Bekas prajurit Jipang itu menjadi kebingungan. Ia tidak sempat lagi berkisar. Jika ia mundur lagi, maka ia tentu akan terperosok masuk ke dalam jurang.

Karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk menangkis serangan itu dengan mengerahkan segenap tenaganya, bekas prajurit Jipang itu berusaha untuk memukul pedang Sambi Wulung menyamping.

Namun Sambi Wulung tidak membiarkan pedangnya bergeser. Ia justru memutar pedangnya itu. Demikian cepatnya, sehingga lawannya tidak mempunyai kesempatan lagi. Pedangnya justru bagaikan terhisap oleh pedang Sambi Wulung.

Prajurit Pajang yang duduk di pinggir jurang itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Mereka tidak mengira bahwa orang Sembojan itu mampu bertempur demikian garangnya.

Keduanya dengan wajah tegang sempat melihat pedang bekas prajurit Jipang itu terlempar dari tangannya dan masuk ke dalam jurang yang dalam.

Sambi Wulung kemudian mengacukan pedangnya di dada orang itu. Dengan nada rendah tetapi berat Sambi Wulung bertanya, “Kau menyerah atau aku dorong kau masuk ke dalam jurang.”

Orang itu menjadi pucat. Apalagi ketika ujung pedang Sambi Wulung melekat didadanya, “Jawab,” bentak Sambi Wulung.

Orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka jawabnya ragu, “Aku menyerah.”

“Kau tidak bohong?” desak Sambi Wulung.

“Tidak. Aku menyerah,” suara orang itu menjadi gemetar.

Pada saat yang demikian itulah, pasukan Pajang nampak mendekati arena pertempuran. Senapati Pajang itu menjadi heran melihat apa yang terjadi. Orang Sembojan itu mengacukan pedangnya ke arah seseorang, sementara kedua orang prajurit Pajang itu baru kemudian bangkit berdiri dengan tergesa-gesa.

Sambi Wulung yang telah menguasai lawannya sepenuhnya itu pun kemudian memerintahkan lawannya untuk bergeser ketengah. Kemudian memerintahkannya untuk duduk di tanah.

Senapati Pajang yang berjalan di paling depan telah memberikan isyarat agar pasukannya berhenti. Kemudian dengan heran ia bertanya, “Apa yang terjadi? Kenapa kalian berdua justru hanya duduk-duduk saja sementara kawanmu bertempur?”

Kedua prajurit Pajang itu termangu-mangu, Namun seorang diantara mereka menjawab, ”Kawanku ini hampir saja terperosok ke dalam jurang. Aku baru saja menolongnya dan mengangkat naik”

“Apa yang terjadi?” bertanya Senapati itu.

“Ampun,” desis prajurit Pajang itu. Dengan singkat ia menceritakan seluruhnya yang telah terjadi. ia pun kemudian menunjuk kepada sesosok tubuh yang terbaring diam tersangkut pada sebatang pohon di pinggir jurang.

“Orang Sembojan itu pulalah yang telah mengalahkannya,” berkata prajurit Pajang itu dengan jujur. Lalu, “Tanpa orang Sembojan itu, mungkin kami berdua telah terbunuh disini.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian melangkah mendekati bekas prajurit Jipang yang terbaring itu. Ketika ia berjongkok dan memegang tangannya, maka katanya,”Sayang. Orang ini sudah mati.”

“O,” Sambi Wulung pun mendekatinya pula. Tetapi orang itu benar-benar telah mati.

“Kehabisan darah,” berkata Senapati itu. “Lukanya telah mengalirkan darah tanpa dapat dicegah.”

Sambi Wulung mengangguk-angguk.

“Jadi bagaimana dengan kedua orang itu?” bertanya Senapati itu.

Sambi Wulung pun kemudian menceritakan tentang kedua orang itu. “Agaknya mereka memang berasal dari salah satu sarang para pengikut Ki Rangga Gupita”.

Senapati itu pun kemudian memberikan isyarat, agar pasukannya beristirahat sejenak. Ia mempunyai kepentingan dengan orang yang menyerang itu.

Ternyata bahwa orang itu tidak banyak berbelit-belit. Ia menjawab pertanyaan sebagaimana adanya. Ternyata bahwa setiap pengikut Ki Rangga selalu dibatasi pengenalannya atas sarang-sarang yang dibuatnya. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang mengenali sarang-sarang para pengikutnya di beberapa tempat.

“Kau akan kemana?” bertanya Senapati itu.

Orang itu tidak dapat ingkar. Ia memang mendapat tugas untuk menghubungi kawannya. Tetapi tidak disarang yang lain. Ia harus menemui kawannya justru di sebuah padukuhan kecil untuk menerima perintah.

“Perintah apa kira-kira yang akan kau terima?” bertanya Senapati itu.

“Aku tidak tahu,” jawab tawanan itu. “Tetapi tentu sekitar usaha untuk mengambil harta benda di padukuhan-padukuhan.”

“Di padukuhan-padukuhan kecil itu?” bertanya Senapati.

“Tentu tidak. Tetapi kami harus pergi ketempat yang cukup jauh. Kami harus memasuki padukuhan-padukuhan yang besar, yang sudah diketahui lebih dahulu, bahwa di padukuhan-padukuhan itu tersimpan harta benda yang cukup untuk membantu perjuangan kami,” jawab orang itu.

Senapati itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Segala sesuatunya akan dapat kita bicarakan nanti. Sekarang aku ingin pergi ke sarangmu. Aku ingin bertemu dengan pemimpinmu. Apakah Ki Rangga Gupita sering datang kemari?”

“Pernah. Tetapi jarang sekali,” jawab orang itu.

Tawanan itu memang tidak dapat berbuat lain. Ia dipaksa kembali ke sarangnya, sementara itu Senapati itu telah berkata, “Setelah kita selesai, maka kita akan mengurus mayat kawanmu itu.”

Tawanan itu tidak menjawab. Dua orang prajurit mengawalnya. Sementara itu iring-iringan pun berjalan maju dengan hati-hati.

Disepanjang perjalanan itu, dua orang perwira telah berusaha untuk menyadap keterangan dari tawanan itu.

Ternyata bahwa sarang mereka terletak ditempat yang agak tinggi. Bukan sebuah goa saja. Tetapi disamping goa yang memang terdapat disitu, mereka pun telah membuat beberapa buah barak.

“Kami harus mengepungnya,” desis perwira itu.

“Sulit dilakukan,” berkata tawanan itu. “Sarang kami dikelilingi oleh jurang yang terjal. Jalan satu-satunya adalah jalan ini. Tetapi ada kalanya kawan-kawan kami menelusur turun lewat jurang-jurang itu untuk mencapai jalur jalan dibawah dengan cara yang lebih cepat. Tetapi kadang-kadang dapat terjadi kesulitan.

Kadang-kadang pakaian dapat koyak oleh duri-duri yang tajam. Bukan hanya pakaian tetapi kadang-kadang kulit kami.”

Perwira itu kemudian mendapat gambaran serba sedikit. Memang sulit untuk mengepung tempat itu. Satu-satunya cara adalah menyergap dengan tiba-tiba.

“Tetapi penghuni sarang kami kini bertambah. Ada beberapa sarang yang dikosongkan karena beberapa orang di antara kami tertangkap. Dari sarang kami yang dikosongkan itu, sebagian ada pula disini.”

Perwira itu mengangguk-angguk. Namun menurut tawanan itu, jumlah mereka tidak terlalu banyak, sehingga jumlah prajurit Pajang yang datang, serta para pengawal Tanah Perdikan itu akan dapat mengatasi perlawanan mereka betapapun garang, keras dan kasarnya mereka.

“Pasukan kita berlipat hampir tiga kali,” berkata perwira itu.

Sejenak kemudian, maka perwira yang menyadap keterangan dari tawanan itu telah melaporkan kepada Senapatinya. Dengan demikian maka Senapati itu pun telah memerintahkan mengatur pasukannya karena mereka tidak akan mengepung tempat itu, tetapi mereka akan menyergap dengan tiba-tiba.

“Tetapi kita jangan terjebak oleh keterangan yang dibuat-buat,” berkata Senapati itu.

Ternyata bahwa jarak antara tempat mereka berhenti dan sarang gerombolan itu masih agak jauh, sehingga mereka tidak dapat menyergap pada saat yang dikehendaki.

Demikianlah matahari mulai naik perlahan-lahan dilangit. Iring-iringan itu merayap terus mendekati sasaran. Untunglah bahwa pepohonan dilereng bukit itu cukup rimbun, sehingga iring-iringan yang panjang itu tidak dengan segera dapat dilihat.

Beberapa tonggak dari sasaran, maka Senapati itu telah memerintahkan pasukan berhenti. Lingkungan dan medan pun mulai berubah. Jurang tidak lagi terdapat di sebelah menyebelah jalan sempit. Tetapi di lereng bukit itu mulai terdapat dataran yang agak luas.

Senapati itu mulai membagi pasukan. Sebagian akan menyergap lewat arah yang lain, sementara induk pasukan akan tetap mendekati sarang itu melalui jalur jalan.

“Jalan yang harus ditempuh untuk mendekati sarang kami lewat hutan itu agak sulit,” berkata tawanan itu memperingatkan.

“Kenapa?” bertanya Senapati pasukan Pajang.

“Jalan sangat licin dan banyak terdapat semak-semak duri,” jawab tawanan itu.

“Tetapi bukankah mungkin dicapai lewat hutan itu?” bertanya seorang perwira.

“Memang mungkin meskipun sulit. Lewat hutan itu mereka akan mendekati sarang kami dari sisi sebelah kiri yang tidak berjarak dari jalur jalan masuk lewat jalan setapak ini. Hampir tidak ada artinya, dibanding dengan kesulitan yang akan dialami,” berkata tawanan itu pula.

Perwira Pajang itu mulai ragu-ragu. Namun akhirnya Gandarlah yang berkata, “Aku dan para pengawal akan menempuh jalan hutan ini. Para prajurit akan sangat iperlukan untuk menyergap dengan tiba-tiba. Jika aku terlambat datang, maka agaknya tidak akan terlalu mengganggu penyergapan itu sendiri. Mungkin ada di antara mereka yang melarikan diri ke hutan-hutan sempit itu. Mudah-mudahan kami sempat menyergap mereka.”

Senapati itu sependapat. Gandar dan pasukannya akan memisahkan diri memasuki hutan. Mereka akan mendekati sarang itu lewat puntuk-puntuk kecil yang licin dan ditumbuhi semak-semak berduri.

“Kita harus menunjukkan, bahwa kita tidak sekadar menggenapi syarat untuk ikut hadir disini,” berkata Gandar. “Kita harus menunjukkan, bahwa kita memang ikut serta dalam penumpasan ini.”

Para pengawal dari Tanah Perdikan itu pun mengangguk-angguk. Mereka memang harus menyatakan diri mereka, bahwa kehadiran mereka memang diperlukan. Sambi Wulung telah mengalami satu perlakuan, bahwa prajurit-prajurit Pajang menganggap orang-orang dari Tanah Perdikan Sembojan itu sekadar sebagai satu kesempatan.

Demikianlah Gandar yang hanya mendapat gambaran tentang sasaran dari tawanan yang ditangkap oleh Sambi Wulung itu, telah membagi pasukannya menjadi dua kelompok besar yang masing-masing akan dipimpin oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung.

“Kita harus mampu memasuki barak itu dengan cepat dan mencegah mereka melarikan diri dengan meloncat dan menelusur turun di tebing-tebing itu sebagaimana sering mereka lakukan,” berkata Gandar. “Pasukan kita harus dengan cepat memasuki lingkungan barak itu dan berusaha mengepungnya, meskipun hal itu sulit dilakukan. Tetapi bukan mustahil. Kita mengepung barak itu di dalam halaman barak itu sendiri, sementara kita berharap bahwa pasukan Pajang itu tepat pada waktunya berhasil memasuki barak-barak itu. Sedangkan sebagian lagi akan menyumbat goa disebelahnya dengan pasukan pula.”

Dengan dasar gerak sebagaimana dikatakan oleh Gandar, maka pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu maju menembus hutan yang tidak terlalu luas disebuah dataran di lereng bukit.

Mereka memang menembus sebuah medan kecil yang lebat. Tetapi ternyata medannya tidak seberat sebagaimana dikatakan oleh tawanan itu.

“Tawanan itu mengharap tidak sekelompok pun di antara pasukan ini yang mendekati lewat hutan ini,” berkata Gandar. “Agaknya tawanan itu masih berusaha memberikan kesempatan kepada kawan-kawannya untuk melarikan diri.”

Sambi Wulung yang berada disebelah Gandar mengangguk-angguk. Dengan demikian maka mereka menjadi semakin yakin, bahwa mereka akan dapat berbuat sesuatu dalam tugas mereka itu.

Dalam pada itu, Jati Wulung telah membawa pasukannya melebar. Sementara Sambi Wulung berusaha untuk mendekati sasaran dari satu arah.

Semakin dekat dengan sasaran maka orang-orang dalam kelompok yang dipimpin oleh Jati Wulung menjadi semakin terpecah. Mereka berada dalam satu kelompok-kelompok yang terdiri dari sepuluh orang, sehingga lima kelompok itu telah maju dalam rutan masing-masing.

Semakin dekat dengan sasaran, maka orang-orang dalam kelompok bergeser sedikit kekiri. Ia akan mendekati sasaran tidak terlalu jauh dari kehadiran pasukan Pajang, namun dari arah yang berbeda.

Gerak pasukan Pajang dan Tanah Perdikan Sembojan itu memang tidak diduga sebelumnya oleh mereka yang berada di sarang itu. Seperti Ki Rangga, mereka memang agak mengabaikan kemungkinan seperti itu.

Para pengikut Ki Rangga, bekas prajurit-prajurit Jipang pada umumnya menganggap bahwa Tanah Perdikan Sembojan tidak mempunyai cukup kekuatan untuk menyusuri lereng-lereng pegunungan pada jarak yang begitu jauh. Karena itu, meskipun mereka mendapat keterangan dari Damar dan Saruju serta orang-orang yang telah mereka tangkap, maka orang-orang Tanah Perdikan Sembojan tidak akan datang. Demikian pula para prajurit Pajang. Pajang yang sedang sibuk untuk menegakkan kewibawaannya itu tentu lebih banyak berhubungan dengan para Adipati dan Tumenggung yang masih belum mapan. Prajurit Pajang tentu masih dipergunakan untuk menunjukkan kekuatan Pajang kepada pihak-pihak tertentu yang masih ragu-ragu dengan kekuasaan Pajang.

Jika tidak didesak oleh Warsi, maka Ki Rangga memang tidak akan mengosongkan beberapa di antara sarang mereka. Namun perhitungan Warsi pun ternyata dapat ditebak oleh Pajang sehingga Pajang tidak langsung pergi ke sarang-sarang orang yang tertangkap di Tanah Perdikan. Tetapi Pajang telah memilih sasaran yang lain.

Demikianlah, maka pasukan Pajang dan Tanah Perdikan itu bergerak semakin dekat. Beberapa langkah sebelum sampai ke barak, maka Gandar telah memperlambat pasukannya. Dengan isyarat ia menahan gerak maju Sambi Wulung dan Jati Wulung, karena mereka belum melihat tanda-tanda pasukan Pajang sampai ke sasaran pula.

Dalam pada itu Senapati Pajang itu pun telah membagi pasukannya pula. Sekelompok di antara mereka harus langsung menyumbat mulut goa disebelah barak yang didirikan untuk menampung bekas prajurit Jipang yang berada dibawah pengaruh Ki Rangga Gupita.

Sementara itu, maka Gandar sendirilah yang menyusup dibawah gerumbul-gerumbul perdu dan bergerak mendekati sasaran. Beberapa puluh langkah dari barak itu Gandar berhenti. Ia sudah melihat dinding yang tidak rapat yang terbuat dari bambu yang tidak terlalu kuat.

Sejenak kemudian, maka Gandar pun telah melihat iring-iringan pasukan Pajang yang agaknya telah berhenti sebentar untuk mengambil ancang-ancang. Ternyata prajurit Pajang itu datang berlari-lari menyergap sasaran.

Gandar pun telah melemparkan batu ke arah pasukannya sebagai isyarat. Ia memang sudah memberitahukan. Jika ia melemparkan batu, maka pasukannya harus mulai bergerak.

Sebenarnyalah suara gemerasak batu di dedaunan hutan telah membuat perintah bagi Sambi Wulung untuk menggerakkan pasukannya. Namun sebelum itu ia pun telah melemparkan batu pula ke arah pasukan Jati Wulung yang berada disisi yang lain.

Dengan demikian kelompok pasukan dari Tanah Perdikan itu pun telah maju pula dengan cepat, sehingga mereka pun akan mampu mengimbangi kecepatan kehadiran pasukan Pajang.

Sebenarnyalah ketika sorak yang riuh menerpa barak yang terpencil itu, maka seisi barak itu menjadi terkejut bukan buatan.

Mereka tidak mengira sama sekali, bahwa bahaya akan menyergap mereka, memang tidak memasang orang untuk mengamati keadaan. Ternyata kelengahan itu telah membuat mereka diterkam oleh pasukan Pajang dan Tanah Perdikan Sembojan.

Dalam pada itu, sebagian dari pasukan Pajang itu memang langsung menuju ke sebuah goa yang besar tetapi tidak terlalu dalam yang terdapat ditebing lereng pegunungan pada batu padas yang kering. Sementara yang lain telah langsung memasuki halaman barak yang tidak terlalu luas, tetapi memanjang.

Orang-orang yang ada di dalam barak-barak itu terkejut bukan buatan. Dengan serta merta mereka pun telah menyambar senjata-senjata mereka. Sebagai seorang yang telah ditempa oleh kerasnya latihan prajurit Jipang, kemudian oleh kerasnya kehidupan yang mereka jalani untuk waktu yang cukup lama sejak jatuhnya Jipang, maka mereka pun menjadi orang-orang yang keras dan tangguh seperti batu-batu padas dipegunungan itu sendiri.

Dengan serta merta maka isi padepokan itu telah menyongsong pasukan Pajang yang datang dari regol sebelah depan. Sehingga untuk beberapa saat pasukan Pajang itu tertahan. Namun karena jumlahnya yang besar, maka pasukan itu pun telah merembes memasuki lingkungan barak itu.

Dalam pada itu, orang-orang Jipang yang terkejut dan melawan dengan serta merta itu, sebagian memang telah menentukan sikap yang serta merta pula, untuk bergeser kehutan sempit disebelah barak mereka.

Beberapa orang telah siap untuk mundur sambil bertempur dan kemudian mereka akan menghambur ke dalam hutan itu untuk memberikan perlawanan secara khusus. Mereka dapat berlari-lari sambil bertempur di antara pepohonan yang meskipun tidak sepapat hutan-hutan di ngarai namun cukup memberikan perlindungan mereka.

Namun demikian mereka bergeser kedinding, tiba-tiba sepasukan yang lain telah datang pula menghancurkan dinding bambu mereka. Pasukan yang datang itu adalah pasukan Sambi Wulung bersama Gandar sendiri.

Orang-orang yang tinggal di barak itu mengumpat sejadi-jadinya. Mereka tidak dapat memencar ke luar dari halaman barak yang ternyata telah diserang dari beberapa arah.

Namun beberapa di antara mereka masih memikirkan kemungkinan untuk turun dari belakang barak itu. Menyusur kebawah lewat lereng yang memang sering mereka turuni itu meskipun kadang-kadang mereka terkena duri.

“Orang-orang Pajang itu tentu tidak akan berani melakukannya,” berkata orang-orang di barak itu didalam hatinya.

Tetapi orang-orang itu telah terkejut pula akan kehadiran kelompok-kelompok pasukan yang langsung menyusup ke dalam barak sambil merusak pagar bambu. Mereka ternyata telah berusaha untuk langsung berada di bagian belakang dari barak itu dan menutup kemungkinan orang-orang di barak itu untuk melarikan diri menelusur turun lewat tebing dibelakang barak itu.

Dengan demikian maka para prajurit Pajang dan para pengawal Tanah Perdikan Sembojan telah mengatasi kesulitan untuk dapat mengepung barak itu, karena mereka telah menutup kemungkinan di lingkungan barak itu sendiri, bukan diluarnya.

Pertempuran pun segera berkembang. Ternyata bahwa orang-orang yang tinggal di barak itu adalah orang-orang yang cukup garang. Selain mereka memang memiliki kemampuan bertempur sebagaimana seorang prajurit, ternyata bahwa mereka adalah orang-orang yang merasa terikat pada kesetiaan mereka terhadap Jipang.

Itulah sebabnya, maka orang-orang di barak itu yang hampir semuanya adalah bekas prajurit Jipang, telah bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka meloncat, menyerang, bergeser dan kadang-kadang berloncatan surut. Sementara yang lain telah berteriak dengan nyaring, yang dalam kelompok kecil berusaha menembus pasukan Pajang yang ketat.

Namun para pengawal Tanah Perdikan Sembojan, sebagaimana para prajurit Pajang tidak terkejut karenanya. Gandar sudah berusaha untuk membekali para pengawal dengan pengertian, bahwa bekas prajurit Jipang yang terhimpit oleh keadaan itu tentu akan menjadi semakin garang dan keras. Selagi mereka masih berada dalam pasukan yang utuh dibawah naungan panji-panji Kadipaten Jipang, mereka sudah dikenal sebagai prajurit-prajurit yang keras. Apalagi setelah mereka ditempa oleh kerasnya petualangan.

Demikianlah pertempuran pun segera menjadi keras dan kasar. Para pengawal Tanah Perdikan Sembojan mula-mula memang merasa gelisah melihat cara lawan mereka bertempur. Namun mereka memiliki jumlah orang yang lebih banyak. Apalagi setelah para prajurit Pajang yang juga cukup berpengalaman itu menebar.

Agak berbeda dengan kedua orang prajurit Pajang yang bertempur di jalan yang sempit dan bibir jurang yang licin, maka para prajurit Pajang di barak itu mendapat tempat yang agak leluasa. Mereka tidak berdiri hanya beberapa langkah dari bibir jurang yang dalam. Namun mereka berada ditempat yang dapat dipergunakannya untuk mengembangkan kemampuan mereka bertempur.

Karena itulah, maka para prajurit Pajang dan para pengawal dari Tanah Perdikan Sembojan dapat bertempur dengan mapan.

Sementara itu dipelataran goa disebelah halaman barak itu pun telah terjadi pertempuran yang keras dan kasar. Para bekas prajurit Jipang yang ada di dalam goa itu telah berusaha untuk mempertahankan goa mereka dengan segenap kemampuan mereka, karena di dalam goa itu tersimpan barang-barang milik gerombolan mereka yang oleh Ki Rangga disebut sebagai harta kekayaan yang akan menjadi bekal mereka untuk menegakkan Jipang kembali.

Prajurit Pajang yang berada di mulut goa itu memang terkejut menghadapi perlawanan yang luar biasa dari bekas prajurit Jipang itu. Ternyata beberapa orang di antara mereka adalah perwira Jipang yang memiliki kemampuan lebih baik dari para prajurit mereka.

Dengan demikian meskipun jumlah mereka lebih kecil dari jumlah para prajurit Pajang, namun mereka tetap bertahan di halaman goa yang tidak terlalu sempit.

Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang bertebaran dimana-mana. Ternyata para pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang cukup berpengalaman itu masih juga sekali-kali merasa tergetar melihat kekerasan dan kekasaran bekas para prajurit Jipang yang tinggal di barak itu.

Namun Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah memberikan semacam sandaran kekuatan jiwani terhadap para pengawal Tanah Perdikan. Mereka melihat bagaimana ketiga orang pemimpin mereka itu bertempur.

———-oOo———-

Bersambung ke Jilid 31.

Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai kasih

http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm

Terima kasih kepada Nyi DewiKZ

<< kembali | lanjut >>

One Response

  1. Terjemahannya kurang bagus, bahasanya sering tdk nyambung jd tdk sesuai dgn alur cerita

Leave a comment